Gudang SRG Solusi Impor Jagung

 

“Ketika terjadi masa panen raya jagung, industri pakan ternak tidak mampu menampung produksi petani. Gudang industri pakan ternak diperkirakan hanya mampu menyerap dan menyimpan sebesar 60 % produksi jagung. Sebab itu, gudang SRG jagung yang ada di daerah sentra produksi sangat diperlukan”

 

Sistem Resi Gudang (SRG) komoditi jagung merupakan salah satu solusi mengurangi ketergantungan impor. Yang perlu dilakukan pemerintah terutama pemerintah daerah yakni menciptakan sistem perdagangan on-line yang terintegrasi antara petani produsen, gudang SRG hingga industri hilir seperti industri pakan ternak. Dengan terintegrasinya para pelaku itu, maka dapat dipastikan industri pakan ternak tidak memiliki ketergantungan dengan impor jagung. Di sisi lain, harga komoditi jagung di tingkat petani berada di posisi wajar dan pasokan ke industri pakan ternak terjamin dari gudang SRG.

Kementerian Pertanian (Kementan) di awal tahun ini menargetkan produksi jagung sebanyak 19,83 juta ton. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun lalu mencatat produksi jagung nasional mencapai 19,38 juta ton. Sementara itu, kebutuhan industri pakan ternak terhadap komoditi jagung diperkirakan mencapai 7 juta ton pertahun.

Dalam catatan BPS pada periode 2000-2011, kenaikan konsumsi jagung nasional setiap tahun rata-rata 8 % sementara angka peningkatan produksi jagung hanya 6 % per tahun. Di sisi lain berdasarkan data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebutkan, kebutuhan impor jagung Indonesia rata-rata 9 % atau 1,4 juta ton per tahun, sedangkan kenaikan areal tanam hanya 1 % per tahun.

Ketua Umum Dewan Jagung Nasional, Anton Supit, dalam sebuah kesempatan diawal tahun ini mengutarakan, agar pengusaha pakan ternak dapat menyerap produksi jagung nasional, pemerintah perlu mewajibkan petani menggunakan gudang SRG sebagai penimpanan jagung. Hal itu dikatakan agar kualitas jagung yang digunakan industri pakan ternak terjaga dan terjamin. Di sisi lain, komoditi jagung dapat disimpan lebih lama.

Menurut Anton Supit, masa panen komoditi jagung di dalam negeri berkisar di bulan Januari hingga Maret. Hal itu dikarenakan petani memulai masa tanam di saat curah hujan cukup di bulan Oktober hingga Desember. “Ketika terjadi masa panen raya jagung, industri pakan ternak tidak mampu menampung produksi petani. Gudang industri pakan ternak diperkirakan hanya mampu menyerap dan menyimpan sebesar 60 % produksi jagung. Sebab itu, gudang SRG jagung yang ada di daerah sentra produksi sangat diperlukan.”

Industri pakan ternak membutuhkan jagung yang memenuhi persyaratan kualitas. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI 2000), kadar aflatoksin maksimal pada jagung pakan sebesar 50 ppb (part per bilion). Lebih dari jumlah tersebut, jagung berjamur dan tidak bisa dikonsumsi ternak.

Dalam kondisi panen raya, syarat ini bisa dipenuhi oleh petani karena jagung dalam kondisi segar. Namun di musim bukan panen, persyaratan kualitas menjadi kendala penyerapan jagung di industri pakan ternak. Saat ini industri pakan ternak membutuhkan jagung sekitar 500 hingga 600 ribu ton per bulan. Dalam satu tahun, industri pakan sedikitnya membutuhkan pasokan jagung sekitar 7 hingga 8 juta ton. Kebutuhan ini dipenuhi dari jagung domestik apabila sedang masa panen. Namun di bulan lainnya, kebutuhan ini dipenuhi dari jagung impor.

Petani diharapkan menguasai penanganan jagung paksa panen demi meningkatkan kualitas. Selain itu, sebaiknya panen tidak dilakukan sebelum waktunya. Ia menemukan di Nusa Tenggra Timur (NTT ), petani kerap melakukan panen lebih awal. Jagung yang baru berumur tiga bulan, telah dipanen karena harga jagung yang bagus. Masa panen yang ideal menurutnya akan mempengaruhi umur jagung.

Berdasarkan data BPS, importasi jagung tercatat sebesar 335 ribu ton pada awal Januari 2013. Jumlah ini setara dengan nilai 102 juta dolar AS atau Rp 969 miliar. India masih menjadi negara pengekspor jagung terbesar dengan 321 ribu ton dengan nilai 97,4 juta dolar AS atau Rp 925,3 miliar.

 

Tolak Ukur

Sementara itu, menurut Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, saat melakukan dialog dengan pelaku industri pakan ternak di Jawa Tengah, mengatakan, untuk mempertahankan harga komoditi jagung di tingkat yang wajar, pemerintah berharap para petani komoditi jagung di Kab. Grobogan, Jateng, dapat memenuhi kebutuhan perusahaan pakan ternak. Di sisi lain, jenis dan kualitas komoditi jagung harus sesuai dengan kebutuhan industri pakan ternak. “Jika dua hal itu dapat dipenuhi para petani jagung Kab. Grobogan, saya jamin harga komoditi jagung akan berada di tingkat yang wajar, berkisar Rp 3.000 per kg,” kata Bayu.

“Industri pakan ternak sudah berkomitmen membeli komoditi jagung di atas biaya produksi jika harga pasar anjlok. Tetapi syaratnya, kualitas jagung harus sesuai dengan kebutuhan industri pakan ternak seperti kadar air berkisar 15 %,” jelas Bayu.

Sebab itu, Wamendag Bayu Krisnamurthi, mencetuskan gagasan agar Kab. Grobogan dijadikan tolak ukur perdagangan jagung nasional. Hal itu dikatakan Bayu, karena Kab. Grobogan memiliki lahan produksi jagung yang luas dan dekat dengan industri pakan ternak baik yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dijelaskan Bayu, jika kita mengacu dengan komoditi beras, di tingkat nasional tolak ukurnya adalah Pasar Induk Cipinang. Bila di Cipinang harga beras naik atau turun, maka daerah akan mengikuti pergerakan harga pasar induk itu. “Nah, kita ciptakan Kab. Grobogan sebagai tolak ukur untuk tingkat nasional.”

“Memang tidak mudah untuk mewujudkan itu, sebab harus ada trust  dari masing-masing pihak pelaku. Tetapi jika tidak kita mulai sejak sekarang, kita tidak akan pernah memilikinya,” tegas Bayu. Di dalam penjelasannya, Bayu mengatakan, langkah pertama membangun Kab. Grobogan sebagai tolak ukur harga komoditi jagung yakni menciptakan sistem perdagangan secara online. Sistem itu terintegrasi mulai dari petani, gudang SRG komoditi jagung hingga ke konsumen industri pakan ternak.

“Dengan sistem itu, kita bisa mengetahui persediaan jagung di gudang SRG, di sisi lain kita pun tahu posisi petani jagung sedang musim tanam atau masa panen.” “Jika kita mampu menciptakan sistem itu, saya pikir itu adalah sebuah upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor jagung. Karenanya, harus ada jaminan harga sehingga petani termotivasi menanam jagung dengan kualitas yang baik. Karena itu, harus ada koordinasi di antara instansi terkait di daerah dan adanya leadership pemerintah daerah yang memikirkan kesejahteraan petani,” tandas Bayu Krisnamurthi.