PARAMETER KOMODITI SYARIAH
H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin
*) Pemerhati Ekonomi Syariah
Tahun 2011 lalu Dewan Syariah Nasional (DSNMUI) mengesahkan Fatwa DSN-MUI No. 82, tentang perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah. Di mana produk ini diharapkan menjadi pioneer dalam pengembangan produk di bursa berjangka. Fatwa ini didasari oleh permintaan yang sangat banyak dari industri perbankan syariah nasional, terutama untuk pengelolaan managemen risiko likuiditas. Saat ini, bank syariah yang notabene pangsa pasarnya masih relatif kecil, sangat kesulitan dalam mencari likuiditas untuk mencukupi kebutuhan uang tunai untuk memenuhi permintaan di sisi liability. Sehingga, sering kali mereka harus ‘mengemis’ kepada induk mereka untuk suntikan dana dan mungkin pernah pula harus meminta pembiayaan dari perbankan konvensional meski pun dengan akad syariah.
Fatwa DSN-MUI No. 82 ini adalah solusi yang baik bagi industri perbankan syariah nasional dalam pengelolaan manajemen likuiditas. Sehingga ketika terjadi kelebihan dana atau pun kekurangan dana, perbankan syariah tidak perlu lagi khawatir karena sudah tersedia Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) yang memberikan wadah bagi mereka untuk bertransaksi secara syariah. Di lain hal, BBJ diharapkan bisa memberikan efficiency cost yang tidak kalah dengan produk-produk konvensional. Jika tidak, peresmian Fatwa No. 82 ini dan penciptaan produk komoditi syariah oleh BBJ akan menjadi sia-sia dikarenakan sepi peminat.
Tawarruq
Pada dasarnya, konsep perdagangan komoditi syariah yang diterapkan di BBJ ini adalah surplus mendapatkan pesanan dari bank defisit untuk membeli barang, sehingga bank surplus akan membeli komoditas dari market dengan tunai menggunakan akad al-bay’, lalu menjualnya kepada bank deficit dengan cara murabahah dengan bayaran tangguh atau cicilan. Lalu bank defisit akan menjual asset ini ke pasar komoditas dengan tujuan untuk mendapatkan tunai.
Inilah akad tawarruq yang biasa dikenal diindustri perbankan syariah timur tengah, yang bisa mereka praktikkan tidak hanya untuk pengelolaan likuditias akan tetapi bisa juga ditargetkan kepada individual untuk keperluan konsumtif. akan tetapi, tawarruq yang dipakai di timur tengah banyak sekali menuai kecaman karna sudah diatur oleh pihak bank atau dikenal dengan organized tawarruq. Yang lebih parah lagi, dari research yang pernah dilakukan di Eropa khususnya United kingdom, menerapkan konsep tawarruq dengan memakai asset China Metal, yang sebenarnya ini tidak bernilai. akan tetapi China Metal ini berharga sangat tinggi dikarenakan dipakai untuk transaksi tawarruq.
Dari data yang dihimpun, bahwasanya hanya 2.7 % asset yang dipakai dikomoditi murabaha atau tawarruq itu masuk kepada end user. Sedangkan 97.3 % sisanya digunakan untuk transaksi derivatives.
Dari aspek Fikih, sebenarnya ulama banyak menjelaskan berbagai macam konsep tawarruq. Di mana tidak semua tawarruq diharamkan, akan tetapi ada beberapa yang disepakati oleh ulama bahwa itu shariah compliant. Ulama kontemporer membagi tawarruq menjadi dua macam, pertama tawarruq munazzhom atau disebut dengan organized tawarruq. kedua adalah tawarruq fiqhi atau haqiqi. konsep tawarruq pertama adalah akad tawarruq Dikarenakan bank syariah ambil andil di dalam menentukan lini penjualannya. Bank syariah menetapkan siapa broker pembelian dan kepada siapa si pembeli menjual kembali barang tersebut. Hal inilah yang dilarang dalam syariah karna saudaranya bay' al-inah. Cuma menambahkan pihak ketiga.
Konsep tawarruq yang kedua adalah dimana bank syariah (surplus unit) betul–betul membeli barang itu dari market, dan menjualnya kepada konsumen yang memerlukan tanpa ada embel-embel untuk dijual kepada pihak manapun. Sehingga konsumen bebas dan punya hak dalam menentukan kepada siapa dia mau menjual asset tersebut. Sehingga tidak terjadi hilah ghairu syar’iyyah didalamnya yang menyebabkan produk ini tidak shariah compliance. Jikalau hal ini yang ditetapkan oleh BBJ, maka kita sudah bisa disebut dengan shariah compliance product.
Fatwa DSN-MUI No. 82
Di fatwa ini telah dijelaskan bahwasanya komoditi murabahah telah disahkan oleh DSN-MUI dengan BBJ sebagi pihak penyelenggara perdagangan komoditi. BBJ sebagai pihak perantara dari pihak yang mempunyai komoditas. Dan setelah itu menjadi pihak penjual komoditas kepada supplier dan dilaksanakan secara komputer dan online oleh pihak anggota bursa.
Ada beberapa akad yang digunakan dalam pelaksanaan Fatwa No. 82 ini, Pertama adalah bay’, dimana peserta komersial akan membeli komoditi dari supplier lalu supplier memenuhi permintaan sesuai dengan komoditi yang dinginkan lalu dijual kepada peserta komersial dengan cara tunai. Kedua, murabahah dimana peserta komersial akan menjual asset ini atas kelebihan margin di atas pokok dengan cara tangguh atau cicilan. Ketiga, bay’ musawamah dimana supplier diwakilkan oleh BBJ menjual barang ke peserta komersial tanpa berkewajiban memberitahukan berapa harga pokok dan margin. Keempat, wakalah, dimana BBJ akan menjual asset tersebut jika diperlukan oleh konsumen komoditi untuk menjualnya kepada supplier yang berbeda dari supplier awal. Kelima, akad muqorodhoh, dimana supplier satu bisa barter asset dengan supplier 2, ataupun ke supplier 3 dan sebaliknya. Supaya asset tersebut tidak kembali kepada orang yang sama.
Dari lima akad ini, sebenarnya ada satu akad lagi yang harus diperhatikan, yaitu al-Wa’du. atas perjanjian dimana ketika konsumen komoditi menginginkan komoditas kepada peserta komersial dengan tujuan mendapatkan uang tunai maupun menahan asset tersebut untuk dijual dimasa yang akan datang atau dijual ke selain peserta supplier dari Bursa komoditi syariah. konsumen komoditi harus berjanji membeli barang yang dibeli oleh peserta komersial. Jikalau tidak, maka ketika komoditas tersebut sudah dibeli oleh peserta komersial lalu konsumen komoditi membatalkan transaksi tersebut. Maka akan terjadi permasalahan disana, bisa jadi asset yang dibeli oleh peserta komersial turun harga, pertanyaannya adalah, siapakah yang mau menanggung kerugian dari pembatalan transaksi ini? Oleh sebab itu, haruslah ada akad al-Wa’du disana sehingga konsumen komoditi berjanji akan membeli komoditi tersebut dari peserta komersial.
Parameter
Ketika telah dibuat sebuah fatwa, maka harus ada parameter yang membatasi transaksi komoditi Murabaha Syariah. Supaya tidak terjadi misuse dalam penggunaan produk yang menyebabkan produk ini menjadi tidak shariah compliance.
Pertama, harus ditekankan bahwasanya transaksi komoditi Murabahah Syariah ini hanya boleh digunakan untuk Pengelolaan Likuiditas Bank Syariah. Sehingga produk ini tidak lari kepada produk konsumen dan bahkan untuk keperluan spekulasi dan mencari keuntungan. Sehingga nantinya bank syariah tidak fokus untuk membesarkan sektor riil dikarenakan lebih fokus pada pencarian keuntungan semata.
Kedua, transaksi in harus riil bukan ficticious contract. Maksudnya, ketika transaksi ini terjadi harusnya benar-benar terjadi transaksi barang pada umumnya, keinginan seller untuk menjual, dan keinginan buyer untuk membeli dengan barang yang sudah jelas wujudnya. kalau tidak, kita akan terperangkap dalam konsep tawarruq yang sudah diaplikasikan oleh banyak bank syariah baik di Malaysia maupun timur tengah ataupun Eropa.
Ketiga, harus ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). Hal ini juga menjadi perhatian penting ketika terjadi sebuah transaksi terutama transaksi komoditi syariah. komoditi yang menjadi objek perdagangan harus betul-betul berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli tanpa ada embel-embel apa pun. Jika tidak, kita akan terjebak kepada konsep bay’ al-inah dimana disana tidak terjadinya perpindahan kepemilikan dan implikasinya si pembeli harus menjual kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan uang tunai.
Keempat, bisa dikirim ke pembeli jika diinginkan. Hal ini untuk menyatakan bahwasanya komoditi yang ditransaksikan dikomoditi syariah ini adalah barangnya ril dan berwujud, ada perpindahan kepemilikan yang jelas. Maka ketika terjadi permintaan dari pembeli untuk mengirimkan komoditi tersebut ke tempat yang dia inginkan, kewajiban penjual adalah mengantarkan komoditi tersebut ke pembeli dengan ketentuan yang berlaku, baik itu berapa hari komoditi ini bisa sampai ke tangan pembeli, dan berapa cost yang dikenakan kepada pembeli.
Kelima, barangnya harus bernilai sesuai dengan harga pasar. Hal ini sangatlah penting, karna kita tidak menginginkan konsep tawarruq yang ada di luar diterapkan di negara kita tercinta ini yang notabene paling syariah dari aspek shariah compliance sebuah produk. Jika tidak, kita hanya memperdagangkan sesuatu asset yang mana nilainya tidak sesuai dengan harga pasar masa itu. Meskipun kita juga bisa memakai supply dan demand dari komoditi tersebut, akan tetapi ini harus dilandaskan dengan penghargaan yang jelas.
Keenam, lokasi komoditinya harus diketahui. Poin ini juga sangat penting, karena kita tidak mungkin memperdagangkan sesuatu yang kita tidak tahu di mana letak barangnya. Hal ini mungkin harus diawasi oleh dewan pengawas syariah dan memastikan bahwasanya barang tersebut berada ditempat tertentu.
Ketujuh, barangnya harus halal dan boleh diperdagangkan menurut undang-undang berlaku.
Kedelapan, harus jelas jenis, kualitas dan kuantitas yang diperdagangkan. Poin ini juga menjadi syarat utama dalam fatwa ini, dikarnakan untuk menghilangkan gharar dari sebuah transaski. Jikalau jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui, maka gharar ini akan berpindah dari gharar fakhish (gharar yang besar) menjadi gharar yasir (gharar yang kecil) yang diperbolehkan dalam syariah. Seperti layaknya pembolehan Bay’ Salam yang awalnya tidak boleh, akan tetapi dibolehkan dengan syarat sebagaimana disebutkan dalam hadis, salam dibolehkan asal jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui dan waktu pengirimannya ditetapkan.
Kesembilan, tidak boleh dipergunakan untuk keperluan individual. Hal ini untuk menghindari masuknya komoditi syariah ini kepada produk konsumen yang mana akan menyebabkan produk ini tidak dipakai sesuai pada kepentingannya. Jikalau masuk ke pembiayaan individual, takutnya praktik tawarruq atau komoditi murabahah yang ada diluar akan di implementasikan diindustri perbankan syariah Indonesia.
Kesepuluh, komoditi yang diperdagangkan harus siap guna, bukan yang masih diolah. ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwasanya kita tidak memperdagangkan sesuatu yang tidak bisa digunakan oleh pembeli. Jangan sampai dalam transaksi komoditi syariah ini menjual sesuatu yang masih diolah sehingga akan menghambat pengiriman ketika sang pembeli menginginkan supaya komoditi ini dikirimkan kepadanya.
(Sumber; disarikan dari Majalah Sharing, 2011)