KUNCI SUKSES SRG ; HARMONISASI KELEMBAGAAN PEMDA

 

Redaksi Buletin Kontrak Berjangka

 

 

Pidato pertama usai pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhyono dan Wakil Presiden Budiono, di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2009 lalu, ditekankan prioritas kerja Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009-2014 pada tiga aspek utama. Yakni, kesejahteraan, demokrasi dan penegakkan hukum. Pencapai sasaran ketiga aspek tersebut ada dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Prioritas kerja KIB jilid dua itu adalah manivestasi dari visi dan misi, ataupun janji pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono, semasa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Dan wacana yang disampaikan SBY itu sejatinya bukan barang baru bagi masyarakat umum Indonesia. Sebab pada dasarnya, ketiga aspek itulah yang saat ini menjadi problem besar bangsa Indonesia dalam mewujudkan jati dirinya.

Bicara soal kesejahteraan tentunya hal ini menyangkut harkat kehidupan golongan terbesar rakyat Indonesia.Yakni, yang diwakili sekitar 60 persen rakyat Indonesia adalah yang menggantungkan kehidupannya pada usaha tani. Dan, yang saat ini masalah utama membelit usaha tani adalah permodalan ataupun pembiayaan, baik dalam budidaya maupun pasca panen.

Ketika petani ingin memulai budidaya, tak jarang mengalami kesulitan karena di depan sudah menumpuk permasalahan terbatasnya sumber modal untuk beli bibit, pupuk, dan perawatan. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat penerimaan hasil panen akibat kecendrungan tingkat harga yang selalu turun di musim panen.

Di sisi lai, akibat rendahnya harga jual di musim panen, penanganan komoditi pasca panen pun cenderung kurang maksimal. Hal ini pun berdampak pada rendahnya kualitas dan tidak adanya daya saing.

Sesungguhnya, senjata ampuh mengatasi ataupun keluar dari persoalan terbesar usaha tani itu telah disediakan dan disiapkan pemerintah. Yakni, instrumen pembiayaan sistem resi gudang (SRG). Instrumen ini telah dipayungi perangkat hukum dengan keluarnya Undang-Undang No.9 Tahun 2006, tentang sistem resi gudang.

Di sisi lain, undang-undang ini lahir juga di bawah kepemimpinan SBY pada jilid I. Itu artinya, SBY pada kepemimpinannya di KIB II saat ini punya perangkat untuk mengatasi persoalan usaha tani. Yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

 

Peran Daerah

Disadari atau tidak, bila kita menyimak seksama UU No.9/2006, titik keberhasilan implementasi SRG pada dasarnya terletak pada pemerintah daerah. Mengapa demikian? Sebab, sentra produksi komoditi berada di daerah. Di sisi lain, petani atau pemilik komoditi serta gudang penyimpanan komoditi pun ada di daerah.

Jadi sesungguhnya, aktor utama dalam penyelenggaraan pembiayaan SRG adalah pemerintah daerah. Hal ini sangat jelas ditegaskan pada pasal 33, huruf a, UU No.9/2006, yang berbunyi, pemerintah daerah harus membuat kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan sistem resi gudang.

Selengkapnya pasal 33, UU No.9/2006, yakni, Urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan Sistem Resi Gudang meliputi: a. pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Resi Gudang; b. pengembangan komoditas unggulan di daerah; c. penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan Sistem Resi Gudang; dan d. pemfasilitasan pengembangan pasar lelang komoditas.

Sedangkan hubungan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah seperti yang diatur UU No.9/2006, pada pasal 32, menyatakan; Urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan Sistem Resi Gudang meliputi: a. penyusunan kebijakan nasional untuk mempercepat pengembangan SistemResi Gudang; b. pengoordinasian antar sektor pertanian, keuangan, perbankan, dan sektor terkait lainnya untuk pengembangan Sistem Resi Gudang; c. pengoordinasian antara Sistem Resi Gudang dan Perdagangan Berjangka Komoditi; d. pengembangan standarisasi komoditas dan pengembangan infrastuktur teknologi informasi; e. pemberian kemudahan bagi sektor usaha kecil dan menengah, serta kelompok tani di bidang Sistem Resi Gudang; dan, f. penguatan kelembagaan Sistem Resi Gudang dan infrastruktur pendukungnya, khususnya sektor keuangan dan pasar lelang komoditas.

Upaya pemerintah pusat, dalam hal ini seperti diamanatkan UU No.9/2006, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), telah melakukan berbagai percontohan SRG di daerah. Setidaknya sejak UU No.9/2006 diberlakukan, sudah ada sebanyak empat daerah yang mendapat percontohan. Masing-masing, Kab. Banyumas, Jateng, untuk komoditi gabah, Kab. Jombang, Jatim, komoditi gabah, Kab. Indramayu, Jabar, komoditi gabah, dan Kab. Gowa, Sulsel, komoditi jagung.

Di samping itu, untuk lebih mengenalkan mekanisme dan manfaat SRG, terhitung sejak tahun 2006 Bappebti telah gencar melakukan sosialisasi diberbagai daerah diseluruh nusantara. Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada tampak minat yang menggairahkan dari pemerintah daerah untuk menggalakan SRG dalam upaya mengatasi permasalahan usaha tani.

Kondisi ini tentunya dapat mengundang berbagai pertanyaan dan interpretasi. Seperti, bisa saja pemerintah daerah belum menganggap instrument pembiayaan SRG sebagai salah satu solusi mengatasi usaha tani. Atau, bisa jadi, pemerintah daerah menangkap instrument ini sebagai program penyelamatan usaha tani dari pemerintah pusat. Seperti halnya kebijakan pemerintah yang mengelontorkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), atau Kredit Usaha Tani (KUT) yang tidak mendewasakan para petani.

 

Figure

Terlepas dari permasalahan itu, kompleksitas SRG di daerah pada dasarnya melibatkan banyak instansi. Sehingga kerap terjadi arogansi instansi. Kita ambil contoh, dari pusat percontohan SRG yang sudah ada di daerah. Dari percontohan itu lebih digerakan kantor dinas perindustrian dan perdagangan. Pada hal, instansi yang bersentuhan langsung dengan para petani dan kelompok tani adalah dinas pertanian atau dinas koperasi.

Sehingga dalam hal ini sangat diperlukan pengoordinasian kelembagaan di daerah dalam implementasi SRG. Singkatnya, perlu ada figure yang bertindak sebagai dirigen. Yang dapat mengharmonisasikan masing-masing instansi atau kelembagaan daerah. Dirigen ini pula yang mendorong dibuatnya kebijakan yang strategis dalam percepatan implementasi SRG, seperti diamanatkan pasal 33, UU No.9/2006.

Ada baiknya, figure atau dirigen yang dapat mengharmonisasi kelembagaan daerah itu harus ada di tingkat kotamadya atau kabupaten. Sehingga rantai birokrasi dapat dipangkas dan ruang lingkupnya lebih fokus. Hal ini juga terkait dengan otonomi daerah, dimana pemerintah kotamadya atau kabupaten memilik independensi menyusun kebijakannya.

Jika hal itu bisa terealisasi, di tingkat provinsi akan terbuka kemungkinan kompetisi sehat SRG antar daerah. Dan, saat itulah petani benar-benar menikmati manfaat instrument SRG. Yang pada akhirnya dapat mensejahterakan kelompok sebahagian besa.