KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

 

Widiastuti
*) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI

 

 

Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), melakukan kajian ilmiah terhadap komoditi crude palm oil (CPO). Sebagaimana diketahui, CPO merupakan salah satu komoditi unggulan Indonesia dan Indonesia sebagai produsen utama dunia. Salah satu tujuan dilakukannya kajian ini yakni sebagai sumber informasi bagi Bappebti dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pengembangan kontrak berjangka CPO dan sistem resi gudang CPO di Indonesia. Pointpoint penting dari kajian tersebut selengkapnya dipaparkan di bawah ini.

 

Latar belakang

  • Berdasarkan UU 32 tahun 1997 dan UU 9 tahun 2006 Bappebti memegang mandat untuk mengembangkan lingkungan usaha yang kondusif bagi tumbuhnya pasar berjangka komoditi dan pemanfaatan Sistem Resi Gudang di Indonesia.
  • Keberadaan pasar berjangka komoditi dan Sistem Resi Gudang harus memberikan jawaban atas kebutuhan para pelaku di pasar komoditi untuk mengembangkan usahanya di dalam lingkungan dengan ketidakpastian harga komoditi.
  • Bappebti sebagai pembina pengembangan industri perlu merumuskan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung hal-hal di atas.

 

Maksud dan tujuan

  • Maksud : melakukan identifikasi karakteristik industri dan kriteria kesuksesan kontrak berjangka CPO serta pemanfaatan Sistem Resi Gudang CPO di Indonesia.
  • Tujuan : berdasarkan hasil studi memberikan masukan bagi Bappebti dalam upaya merumuskan kebijakan pengembangan kontrak berjangka CPO dan sistem resi gudang CPO di Indonesia.

 

Permasalahan

  • Pasar berjangka di Indonesia masih belum menjadi pilihan utama para pelaku usaha komoditi CPO dalam melakukan manajemen risiko harga;
  • Meskipun Indonesia adalah produsen terbesar CPO di dunia, mekanisme price discovery masih menggunakan referensi harga komoditi dari pusat-pusat perdagangan komoditi dunia, belum dari Indonesia;
  • Kurangnya daya tarik Sistem Resi Gudang sebagai mekanisme yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha CPO sebagai alternatif pembiayaan.

 

Peta Konsumsi CPO Dunia

  • Minyak nabati yang dikonsumsi terbanyak di dunia.
  • Produksi pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai ekuivalen dengan USD 37.6 milyar.
  • Konsumsi terbesar (2009): India (17%), China (15%) dan Indonesia (10%).
  • Negara importir utama CPO : China, India, Eropa (biofuel).
  • Negara produsen CPO terbesar : Indonesia (50%, sekitar 21 juta ton per tahun) dan Malaysia (38%, sekitar 17 juta ton per tahun).
  • Pemanfaatan utama : minyak goreng dan semakin meningkat sebagai bahan baku biofuel.
  • Pergerakan harga CPO dipengaruhi oleh : pergerakan harga minyak nabati lainnya, pergerakan harga energi, dan perubahan iklim.
  • Perbedaan dengan minyak nabati lainnya : paling murah dengan kualitas yang baik, diproduksi sepanjang tahun (tidak mengenal musim), dan produktivitas lebih tinggi (dengan luas lahan yang sama).
  • Peningkatan produksi akan terjadi seiring dengan penambahan lahan produksi dan peningkatan produktivitas per satuan luas.
  • Lembaga Swadaya Masyarakat banyak yang mempertanyakan mengenai status lahan dan kemampuan perkebunan kelapa sawit menjaga kualitas tanah.
  • CPO dapat diperlakukan sebagai komoditi yang homogen dengan karakteristik yang ditentukan oleh : kadar Free Fatty Acid (misal : maksimum 4%), tingkat moisture dan impurity (misal : maksimum 0.5%) dan nilai DOBI (Deterioration of Bleachability Index, misal: minimum 2.0).

 

Peta Produksi Indonesia

  • CPO adalah bahan baku utama minyak goreng (sekitar 75 % pemanfaatan CPO dalam negeri adalah sebagai bahan baku minyak goreng)
  • Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia
  • CPO merupakan salah satu ekspor utama Indonesia
  • Pada tahun 2009 industri ini menyerap sekitar 3.06 juta tenaga kerja, 2.7 juta orang di antaranya bekerja di perkebunan kelapa sawit

 

Aspek Harga CPO

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan posisi tawar produsen CPO di pasar :

  • Konsentrasi industri
  • Integrasi vertikal
  • Barriers to entry : besarnya biaya investasi untuk pabrik pengolahan minyak sawit dan produksi produk turunan minyak sawit, biaya perijinan, keterbatasan lahan
  • Produsen CPO memiliki keleluasaan untuk memilih penjualan domestik atau ekspor (dengan pajak ekspor)
  • Penelitian menunjukkan (Chalil, 2008) bahwa kelompok strategis perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara dan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta besar memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar. Namun demikian sulit membuktikan adanya pengaruh kedua kelompok strategis ini terhadap harga di pasar. Yang perlu diperhatikan adalah perilaku kompetitif di antara mereka.

 

Referensi Harga

  • Pasar minyak nabati Rotterdam
  • Bursa Malaysia Derivative Berhad
  • Pasar lelang KPBN
  • Pasar lelang Astra Agro Lestari
  • FOB di pelabuhan (misal Belawan dan Dumai

 

Aspek Pengaruhi Harga CPO

Fluktuasi harga CPO mempengaruhi :

  • Produsen tandan buah segar
  • Produsen CPO
  • Pedagang perantara / trader CPO
  • Prosesor CPO
  • Industri turunan CPO : industriindustri minyak goreng, makanan, oleochemical, margarine, sabun, deterjen, kosmetik, pakan ternak, dan biofuel
  • Eksposur terhadap fluktuasi harga CPO mempengaruhi perusahaan melalui : ketidakpastian pendapatan atau ketidakpastian biaya (marjin)
  • Kebutuhan mitigasi risiko (mengurangi dampak negatif) terhadap fluktuasi harga tersebut bergantung pada seberapa besar pengaruh fluktuasi tersebut kepada profitabilitas pelaku pasar.

 

Manajemen Risiko dan Motivasi Pelaku

  • Produsen CPO murni, seperti Astra Agro Lestari, dapat memilih untuk tidak melakukan lindung nilai (hedging) karena fluktuasi harga CPO tidak terlalu mempengaruhi kelayakan ekonomi dalam jangka panjang dan adanya kecenderungan naiknya harga komoditi/energi ke depan
  • Motivasi produsen CPO murni untuk melakukan lindung nilai adalah keinginan untuk memiliki kepastian arus kas sesuai dengan kebutuhan / strategi perusahaan
  • Industri turunan CPO yang membeli CPO perlu melakukan lindung nilai untuk mempertahankan besar pengeluaran untuk bahan baku dan mempertahankan marjin. Insentif untuk melakukan lindung nilai akan lebih besar apabila perusahaan tersebut tidak dapat meningkatkan harga jual produk akhir kepada konsumen dan tidak mendapatkan subsidi Pemerintah
  • Pedagang CPO memerlukan keberadaan harga berjangka untuk memudahkan perencanaan perdagangan jangka panjang dan memperkecil biaya negosiasi

 

Kesimpulan

  • CPO merupakan komoditi penting bagi Indonesia. Perdagangan komoditi ini menggunakan harga yang ditentukan oleh pasar.
  • Interaksi antara pasokan dan permintaan, korelasi dengan harga komoditi minyak nabati lainnya, penggunaan sebagai bahan baku biodiesel, korelasi dengan harga energi, ketidakpastian iklim adalah faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga CPO.
  • Besarnya fluktuasi terutama pada waktu-waktu tertentu menimbulkan kebutuhan instrumen untuk manajemen risiko harga.
  • Besarnya volume dan frekuensi perdagangan CPO memenuhi syarat perlu bagi adanya kontrak berjangka.
  • Yang diperlukan selanjutnya adalah meningkatkan nilai, kualitas open interest dan volume perdagangan.
  • Untuk keperluan tersebut, kebijakan terkait dengan pengembangan kontrak berjangka ini perlu mempertimbangkan beberapa hal;
  • Pertama adalah meningkatkan transparansi dan kualitas harga spot di pasar underlying.
  • Dengan adanya pasar-pasar lelang fisik CPO, hal ini telah mulai terfasilitasi. Kualitas price discovery yang terjadi dapat lebih ditingkatkan dengan keberadaan pasar lelang fisik elektronik multi seller multi buyer semacam pasar fisik CPO BBJ.
  • Alternatif lain adalah dengan menerapkan wajib lapor transaksi bilateral yang diberlakukan bagi anggota asosiasi. Asosiasi kemudian melakukan tabulasi, merangkum dan menyebarkan informasi harga tersebut.
  • Andaikan kualitas harga ini tidak dapat tercapai, maka harga-harga di Rotterdam, BDM, maupun di Globex akan selalu menjadi referensi untuk harga di kontrak berjangka.
  • Kedua adalah kebijakan Bappebti yang dapat mendorong bursa untuk meningkatkan kualitas price discovery, jumlah open interest dan volume perdagangan kontrak berjangka CPO.
  • Spesifikasi kontrak berjangka di bursa Indonesia harus merupakan pilihan yang lebih menarik dibandingkan yang telah tersedia di BMD dan Globex.
  • Kontrak berjangka tersebut juga harus dapat bersaing dengan cara mitigasi
  • risiko harga melalui kontrak di luar bursa.
  • Para pelaku di bursa, terutama dari posisi beli, haruslah beragam dan independen.
  • Studi determinan basis untuk meningkatkan efektivitas kontrak berjangka untuk keperluan lindung nilai.
  • Ketiga, perlu dilakukan studi mengenai motivasi para pelaku di pasar berjangka.
  • Dengan mengetahui motivasi ini maka spesifikasi kontrak, cara perdagangan dan pelayanan dapat lebih dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mereka.
  • Studi ini mengindikasikan bahwa kebutuhan lindung nilai dari para produsen CPO tidak terlalu menentukan kelayakan ekonomi. Namun lindung nilai dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian arus kas di masa mendatang.
  • Prosesor CPO membutuhkan sarana lindung nilai untuk mengendalikan biaya dan/atau mempertahankan marjin keuntungan. Value added yang tinggi dari produk akhir, adanya subsidi, serta tingginya rasio konsentrasi dapat mengurangi kebutuhan lindung nilai prosesor.
  • Meskipun demikian, perilaku kompetitif para pelaku prosesor dapat meningkatkan tekanan dan insentif untuk melakukan lindung nilai demi mempertahankan marjin dengan mengontrol biaya.
  • Bagi para pedagang CPO, harga yang terjadi di bursa berjangka akan berguna untuk memfasilitasi dan mengurangi biaya negosiasi perdagangan jangka menengah dan panjang.
  • Selain itu, kontrak berjangka juga dapat digunakan oleh para investor atau spekulator untuk mendapatkan imbal hasil maupun melakukan cross hedging dengan kontrak serupa di bursa lain maupun kontrak komoditi substitusi.
  • Sehubungan komoditi CPO sebagai subyek SRG, studi ini menyimpulkan tidak layak.
  • Besarnya biaya penyimpanan CPO ditambah dengan beban bunga, relatif kecilnya nilai sebagai jaminan, sifat ‘just in time’ inventory dari perkebunan kelapa sawit, dan captive market; menyebabkan instrumen SRG tidak menarik bagi pelaku.
  • Produsen TBS pun tidak mungkin memanfaatkan SRG karena peningkatan FFA yang sangat cepat.