TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

(Bagian Pertama)

 

Aridono Sukmanto
*) Mantan Kasubbid Perbankan, Mabes Polri, saat ini Waka Polda Sulteng.

 

 

Undang-Undang No. 32/1997, tentang perdagangan berjangka komoditi merupakan bagian daripada hukum publik yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perdagangan berjangka komoditi. Tujuan diterbitkannya undang-undang ini untuk meningkatkan kegiatan usaha komoditi agar dapat terselenggara secara teratur,wajar, efisien, efektif dan terlindunginya masyarakat dari tindakan yang merugikan, serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang melakukan kegiatan dibidang perdagangan berjangka komoditi.

Tujuan tersebut tidak akan tercapai apabila aparat penegak hukum serta pihak-pihak yang terkait yang termasuk di dalam sistem perdagangan berjangka tidak menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam suatu rule of the game yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tersebut.

Guna mencapai tujuan di atas Kepolisian Republik Indonesia selaku aparat penegak hukum, bersama Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) selaku salah satu unit Eselon I yang berada di bawah Kementerian Perdagangan telah diberikan amanah dan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan perdagangan berjangka berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan berada di depan dalam hal penegakan hukum. Implementasi kerjasama penegakan hukum tersebut telah dituangkan di dalam suatu Nota Kesepahaman.

Dalam ketentuan UndangUndang perdagangan berjangka, juga telah diatur mengenai ketentuan sanksi pidana bagi para pelaku pasar, baik dilakukan secara perorangan atau badan hukum (rechts person) di dalam transaksi berkarakter risiko tinggi pada sistem perdagangan berjangka apabila orang atau badan hukum dimaksud telah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut.

Dari penjelasan di atas, timbul permasalahan apakah para pelaku pasar secara keseluruhan telah mengetahui tentang adanya Tindak Pidana Perdagangan Berjangka Komoditi mengingat saat ini banyak bermunculan baik secara perorangan maupun berupa badan hukum bertindak selaku penyedia jasa future trading menjaring nasabah atau investor untuk menjadi pelaku pasar perdagangan berjangka melalui bursa perdagangan, serta masih adanya pemberitaan yang memberitakan mengenai belum tuntasnya penyelesaian permasalahan perdagangan berjangka yang diakibatkan tidak sungguh-sungguhnya para pelaku pidana didalam menyelesaikan kewajibannya membayar kerugian yang diderita oleh para korban sehingga diperlukan adanya struktur Direktur Kepatuhan dalam mengatasi masalah tersebut.

 

Jenis Tindak Pidana PBK

Dalam membahas topik di atas, Polri melihat ada beberapa jenis Tindak Pidana Perdagangan Berjangka Komoditi berdasarkan UU No. 32/1997 dan Tindakan Pidana lain yang ada kaitannya dengan tindak Pidana Perdagangan Berjangka Komoditi. Berkaitan dengan itu, Polri juga perlu memberi pemahaman terhadap pemberlakuan hukum pidana (kriminalisasi) dalam kegiatan transaksi Perdagangan Berjangka Komoditi di Indonesia. Hal itu karena masih adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh para oknum pelaku pasar di dalam melakukan aktivitas transaksinya sehingga berdampak kepada suatu bentuk kerugian.

Terjadinya tindakan itu diakibatkan oleh masih terbatasnya pengetahuan tentang pemahaman hukum yang dimiliki oleh para pelaku pasar itu sendiri. Kita sadari bersama, bahwa dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan beserta ketentuan yang mengatur tentang segala aktivitas terkait perdagangan berjangka komoditi dikandung maksud untuk menghindari pelaku pasar melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Dalam perkembangannya, hukum pidana di Indonesia di bagi menjadi dua kelompok, sebagai berikut :

  1. Hukum Pidana Umum (alegemen strafrecht) atau sering disebut dengan pidana biasa atau hukum pidana sipil. Dalam pengertiannya, hukum pidana umum ini diperuntukkan atau ditujukan kepada masyarakat umum (commune strafrecht). Peraturan perundangundangan yang digunakan menggunakan acuan KUHP.
  2. Hukum pidana Khusus, adalah suatu peraturan yang hanya ditujukan kepada orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan atau tindak pidana tertentu atau tindak pidana yang tidak diatur di dalam tindak pidana umum. Pelanggaran pada hukum pidana khusus, seperti tindak pidana subversi atau tindak pidana ekonomi , korupsi, dan lainlain. Menurut Samidjo, S.H, hukum pidana khusus dapat disebut Hukum Pidana Militer.

Hukum Pidana fiskal (pajak), Hukum Pidana ekonomi dan Hukum Pidana politik.

Pada dasarnya, penegak hukum terdapat setiap perbuatan bersifat melawan hukum yang dilakukan oleh orang atau badan hukum (rechts person,) khususnya terkait Tindak Pidana perdagangan berjangka termasuk dalam kelompok Hukum Pidana Ekonomi atau bersifat pidana khusus. Sehingga, di dalam melakukan penerapan terhadap sanksi pidana senantiasa berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini disebabkan adanya azas hukum “ Lex specialis derograt lex generalis” sebagaimana tertuang didalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan pasal 103 KUHP.

Demikian halnya dalam pengenaan hukum pidana terhadap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum. Orang atau badan hukum baru dapat dikenakan sanksi pidana apabila telah memenuhi syarat unsur delik pidana, seperti harus ada suatu perbuatan, perbuatan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan oleh orang atau beberapa orang atau badan hukum yang melakukan, perbuatan tersebut harus dapat dibuktikan kesalahanya, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, harus sudah ada suatu peraturan hukum yang mengatur perbuatan tersebut, telah tersedia ancaman hukumannya.

 

Sanksi Pidana

Dalam ketentuan perundangundangan No. 32/1997, telah ditetapkan beberapa ketentuan mengenai bentuk perbuatan atau tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana tersebut ditujukan terhadap segala bentuk perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan tidak hanya oleh para pihak atau pelaku pasar selaku individu atau orang. Melainkan juga dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa perdagangan berjangka yang telah berbentuk badan hukum (rechts person).

Namun demikian, pengenaan sanksi pidana sebagaimana penjelasan di atas tidak serta merta dapat dikenakan begitu saja kepada para pelakunya tanpa didukung oleh adanya bukti permulaan yang cukup.

Artinya, seseorang atau beberapa orang atau badan hukum patut diduga telah melakukan suatu perbuatan pidana apabila telah didukung oleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah. Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 184 KUHP yang menetapkan ada 5 (lima) macam alat bukti yang dapat digunakan acuan penyidik dalam menduga ada tidaknya perbuatan pidana yang dilakukan.

Kelima macam alat bukti tersebut adalah, Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Bukti Surat Bukti Petunjuk, Keterangan tersangka atau terdakwa.

Perlu dipahami pula, bahwa beberapa alat bukti di atas baru dapat memiliki nilai juridis apabila setelah berada dalam persidangan di pengadilan, jadi sebelum suatu perbuatan disidangkan di pengadilan maka pemeriksa atau penyidik hanya baru dapat menyangka atau menduga saja.

Sesuai ketentuan Pasal 61, UU No. 32/1997, sanksi pidana baru dapat diterapkan apabila segala bentuk penyelesaian yang bersifat musyawarah mufakat tidak tercapai. Hal inilah yang menjadi tugas utama dari saudarasaudara Direktur Kepatuhan yang ada pada masing-masing wilayah kerjanya apabila peristiwa pidana itu terjadi pada badan hukum dimana saudara bekerja untuk segera menyelesaikan sebelum diajukan ke dalam sistem peradilan pidana. (bersambung)