KELEMBAGAAN LUMBUNG DAN GUDANG PANGAN

 

Prof. Dr. Bustanul Arifin
*) Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior

 

 

Eskalasi harga pangan yang terjadi di luar musim panen dan pada hari-hari besar nasional menjadi semakin memperkuat bukti bahwa desain kebijakan harga pangan saat ini tidak mampu menahan kenaikan dan fluktuasi harga. Sejak tahun 2005, kebijakan harga pangan semakin timpang karena Indonesia hanya mampu menetapkan sisi bawah saja melalui kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP). Pada sisi atas atau harga maksimum seakan dibiarkan bergerak tanpa batas, walaupun kebijakan subsidi harga bagi kalangan tidak mampu melalui program beras untuk keluarga miskin (raskin) masih tetap dipertahankan.

Kenaikan harga eceran beras kualitas medium sampai melewati Rp 7.500 per kilogram di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, dibiarkan merangkak naik karena Pemerintah memang tidak memiliki instrumen perlindungan harga seperti masa lalu melalui kebijakan harga atap (ceiling price policy). Pada masa lalu Indonesia juga mampu melaksanakan kebijakan harga dasar (floor price policy) yang melindungi petani dari dampak kejatuhan harga pada musim panen. Fluktuasi harga pangan tetap terjadi, tapi diupayakan tidak melebihi batas atas dan batas bawah yang sudah ditetapkan, sekaligus menjadi insentif bagi pelaku ekonomi pada bagian tengah (perdagangan, penggilingan, dan penyimpnanan) dari rangkaian sistem tataniaga beras.

Menyadari instrumen kebijakan yang ada saat ini tidak mampu meredam dan memecahkan disparitas harga pangan yang terlalu besar, muncul beberapa gagasan untuk mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan ketahanan pangan, termasuk pengembangan gudang pangan modern dan sistem kelembagaan dan lumbung pangan yang menyertainya, mulai dari tingkat pedesaan sampai ke tingkat perkotaan. Pemerintah pernah berupaya mengembangkan sistem kelembagaan "tunda jual" gabah, bahkan menjadikannya sebagai program utama pada masa administrasi Presiden Megawati, disamping jargon khas Menteri Pertanian Bungaran Saragih bernama "sistem dan usaha agribisnis."

Pada masa administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Pemerintah kembali menghidupkan gagasan kelembagaan tunda jual tersebut melalui pembangunan gudanggudang modern, sekaligus pengembangan sistem tunda jual melalui kelembaaan sistem resi gudang (SRG). Sejak tahun 2009, pembangunan gudang-gudang modern tersebut dilakukan di 34 kabupaten/kota yang tersebar di 10 provinsi. Pembangunan gudang flat sebanyak 35 gudang digunakan untuk menyimpanan gabah dan beras, sedangkan 6 gudang silo untuk menyimpan jagung (di Kabupaten Garut, Sumenep, Minahasa Selatan, Takalar dan Gorontalo).

Tambahan pembangunan 15 gudang pangan modern juga dilakukan di 15 kabupaten/kota yang dibiayai dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2010. Gudang pangan modern tersebut diserahkan penguasaannya kepada pemerintah daerah setempat, untuk dijalankan oleh kelembagaan pengelola gudang yang berbentuk koperasi atau badan usaha milik daerah (BUMD) secara profesional. Pada tahun 2011 ini, gudang-gudang yang telah dilengkapi dengan mesin pengering (dryer) itu seharusnya sudah mulai beroperasi secara penuh.

Pengembangan aransemen kelembagaan ketahanan pangan melalui pembangunan gudang pangan modern tersebut secara akademik belum terlalu solid. Beberapa studi ex-ante sosialekonomi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Apabila beberapa studi lain yang telah dan akan dilakukan menujukkan kecenderungan temuan yang hampir sama, maka bentuk pragmatisme kebijakan dengan mereduksi persoalan kelembagaan ketahanan pangan menjadi sekadar pembangunan gudang modern justru dapat berdampak kontra-produktif terhadap kinerja ketahanan pangan nasional.

 

Berikut beberapa penjelasan tentang kelembagaan ketahanan pangan yang dijumpai diIndonesia ;

ertama, kelembagaan lumbung pangan dan gadai gabah tidak layak secara finansial, sehingga cukup sukar jika akan dikembangkan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam menunjang ketahanan pangan. Pada masa lalu, harga pangan relatif stabil – perbedaan harga tertinggi dengan harga terendah sekitar 10 persen, terutama karena fungsi stabilitas harga yang dijalankan Bulog relatif berhasil. Kini, pengembangan gudang modern itu hanya menghasilkan tambahan penerimaan ekonomi yang lebih kecil dibanding tambahan biaya penyimpanannya yang mencapai 35 persen. Implikasinya adalah bahwa petani dan masyarakat pedesaan tidak memiliki insentif yang cukup untuk melakukan kegiatan penyimpanan gabah dan beras.

Di samping itu, apabila pada periode praBimas di tahun 1960-an dahulu, perbedaan harga terendah dengan harga tertinggi terjadi dalam satu tahun, kini perbedaan harga itu terjadi dalam setengah tahun saja karena perubahan varietas padi yang digunakan telah meningkatkan frekuensi panen menjadi dua kali setahun. Hasil studi Simatupang dan Syafaat (2002) tentang lembaga lumbung pangan pedesaan di Cirebon, Cianjur dan Tasikmalaya menunjukkan tingkat bunga pinjaman lumbung berkisar 3,1 – 3,7 persen per bulan untuk lama pinjaman 5,5 bulan, yang jauh lebih tinggi disbanding bunga pasar 2,0 persen per bulan. Untuk periode penyimpanan selama tiga bulan, tambahan penerimaan yang diperoleh karena kenaikan harga jual hanya sebesar 9,1 persen dari harga awal, yang lebih rendah dari tambahan biaya penyimpanan yang harus dikeluarkan sebesar 11,1 persen.

Kedua, perubahan yang sangat cepat terjadi pada aspek eksternal kelembagaan ketahanan pangan tidak dapat diimbangi oleh perubahan di dalam lingkungan internal lumbung pangan di pedesaan. Dalam bahasa ekonomi, tingkat keseimbangan antara "batas luar" dan "batas dalam" suatu organisasi tidak terjadi, sehingga pressure dari luar terlalu besar untuk dapat dikelola oleh unsur-unsur internal lumbung pangan.

Misalnya, perbedaan harga di tingkat petani tidak semata-mata ditentukan oleh faktor musim panen, tetapi juga oleh harga paritas impor gabah, yang juga dipengaruhi harga beras internasional dan nilai tukar rupiah. Perubahan basis sosial menjadi basis ekonomi lumbung pangan juga duitunjukkan oleh perubahan orientasi dan motivasi usaha setiap anggota untuk memanfaatkan jasa dan pelayanan yang ditawarkan lumbung, misalnya usaha simpan pinjam. Perubahan sistem pemilihan pengurus dan pimpinan lumbung pangan, dari bentuk panutan yang melibatkan tetua adat, menjadi sedikit terbuka dan demokratis tentu saja amat mempengaruhi posisi (positioning) yang sebenarnya dari lumbun pangan dalam konteks ketahanan pangan.

Ketiga, sistem tukar-menukar dengan uang (monetary system) yang telah memasuki seluruh lapisan masyarakat sampai ke pelosok-pelosok tanah air menjadi faktor yang amat penting dalam menganalisis kontribusi lumbung pangan dalam konteks ketahanan pangan yang lebih luas. Implikasinya adalah sistem kelembagaan atau aturan main di dalam lumbung pangan tidak dapat lagi diletakkan hanya pada romantisasi masa lalu, tetapi harus berhubungan dengan property rights dalam upaya pengembangan kelembagaan pangan baik di pedesaan, maupun di perkotaan.

Tidak mungkin, suatu sistem yang tertutup akan bertahan lama di tengah pressure yang makin kuat dari masyarakat tentang keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas di setiap manajemen barang dan kebutuhan publik. Artinya, ketahanan pangan tidak akan pernah tercapai apabila lumbung pangan hanya bersifat defensif seperti masa lalu dan hanya sebagai cadangan pangan masyarakat. Ketahanan pangan perlu lebih berdimensi dinamis dan berupaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Sebagai penutup, agar suatu kelembagaan ketahanan pangan tidak hanya menjadi terbahas pada tataran akademisi, maka kelembagaan lumbung pangan harus mampu men-support bekerjanya pasar, khususnya untuk komoditas pangan dan bahan pangan. Dalam konteks struktur pasar, sekian macam asimetri pasar dan asimetri informasi mewarnai ekonomi beras nasional (dan internasional). Struktur pasar beras sangat jauh dari tingkat persaingan sempurna, karena formasi harga ditentukan di pusat-pusat perdagangan yag sangat jauh dari pusat produksi di pedesaan. Implikasinya adalah bahwa hanya dengan upaya modernisasi dan peningkatan skala usaha lumbung pangan pedesaan tidak akan serta-merta meningkatkan derajat ketahanan pangan pada lapisan masyarakat terbawah.

Apalagi, hampir seluruh lapisan masyarakat tahu bahwa aktor ekonomi yang terlibat dalam ekonomi pangan tidak semuanya berperan sebagai penerima harga (price taker) seperti halnya petani. Pedagang umumnya jauh lebih sejahtera (well-off) karena mereka dapat mempengaruhi harga, jika tidak dikatakan sebagai penentu harga (price determinator). Pedagang besar dan penggilingan (miller) dengan modal besar tidak jarang melakukan upaya penyimpanan (dan penimbunan?) beras pada saat-saat sulit, dan bahkan menentukan jenis merk dagang beras sesuai dengan perkembangan dan kecenderungan pasar.

Simplifikasi solusi kebijakan pemotongan rantai tataniaga pangan dengan memasukkan unsur koperasi pedesaaan (KUD) di dalamnya bukan merupakan jaminan bahwa kelembagaan pangan akan lebih efisien. Terlalu banyak bukti empiris bahwa koperasi pedesaan justru memetik keuntungan super-normal atas disparitas harga bahan pangan. Mereka yang amat kental berhubungan dengan sistem birokrasi logistik yang tertutup justru menjadi pemburu rente (rent-seeker) yang meresahkan.

Indonesia perlu secara serius mengembangkan sistem kelembagaan sistem resi gudang melalui pemberian subsidi bunga kredit resi gudang, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Resi Gudang (sebagai amandemen perundangan sebelumnya, UU 9/2006). Subsidi bunga ini disalurkan untuk jangka waktu enam bulan melalui bank-bank pelaksana yang ditunjuk Menteri Keuangan: Bank Jabar-Banten, Bank Jateng, Bank Jatim, Bank BRI dan Bank Kalsel. Dalam hal ini, Pemerintah menanggung selisih bunga yang dibebankan kepada peserta sistem resi gudang sebesar 6 persen dari tingkat bunga komersial. Singkatnya, pengembangan kelembagaan lumbung pangan yang diintegrasikan dengan pola manajemen gudang pangan modern dan sistem resi gudang akan mampu memperbaiki kinerja dan memperkuat ketahanan pangan di Indonesia.