SISTEM RESI GUDANG SOLUSI BAGI PETANI

 

Noviarina Purnami Putri

 

 

Sistem Resi Gudang mulai di kenal di Indonesia sejak 5 tahun terakhir. Sebelum muncul Undang-Undang no 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang banyak dikenal berbagai macam terobosan yang ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditi pertanian. Beberapa diantaranya yang hampir mirip dengan Sistem Resi Gudang adalah sistem tunda jual, gadai gabah, dan yang terakhir adalah CMA (Collateral Management Agrement). Jika ditinjau dari kelengkapan infrastrukur sistem dan keamanannya Sistem Resi Gudang merupakan Sistem yang paling aman dan canggih jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam Sistem Resi Gudang terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan Resi Gudang terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh Badan Pengawas (BAPPEBTI). Serta terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang maupun calon pemilik barang karena barang yang disimpan dikelola dengan baik oleh Pengelola Gudang dan diuji mutu sebelumnya oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian independen yang telah mendapat sertifikasi dari KAN dan disetujui oleh BAPPEBTI.

Seperti layaknya bayi yang baru lahir, dalam implementasinya di lapangan Sistem Resi Gudang mengalami berbagai macam kendala dan masalah. Yang menjadi masalah utama adalah kurangnya pemahaman masyarakat, pelaku usaha, bahkan pihak lembaga keuangan terhadap mekanisme dan manfaat Sistem Resi Gudang. Hal ini merupakan kendala yang pada umumnya dialami oleh suatu kebijakan yang bersifat topdown. Untuk meyakinkan masyarakat akan kredibilitas dan manfaat dari Sistem Resi Gudang mari kita tengok perkembangan Sistem Resi Gudang di Indonesia dalam 3 tahun perkembangannya berikut ini.

  1. Perkembangan Resi Gudang di Indonesia dari tahun ke tahun :
    TAHUN PENERBITAN PEMBIAYAAN
    Resi Gudang Komoditi
    Jumlah % *) Volume (ton) % *) Nilai Barang
    (Rp 000)
    % *) Nilai
    (Rp 000)
    % *) Lembaga Keuangan
    2008 16   508,83   1.431.616,2   313.900   BPRS Bina Amanah, BRI, Bank Jatim
    2009 13 -19% 214,11 -58% 552.962,24 -61% 136.800 -44% BRI
    2010 56 331% 2.248,94 950% 8.467.083,5 1431% 4.017.986,3 2837% BRI, Bank Jatim, Bank BJB, Bank Kalsel, PKBL KBI, LPDB
    TOTAL 85   2.971,88   10.451.661,94   4.468.686,3    

    *) Prosentase pertumbuhan dari tahun sebelumnya

    Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa implementasi Sistem Resi Gudang tidak semulus yang dibayangkan dan mengalami fluktuasi baik itu jumlah resi gudang, volume komoditi, nilai barang maupun jumlah pembiayaannya. Tahun 2008 adalah tahun awal implementasi Sistem Resi Gudang, barang yang disimpan dan Resi Gudang yang diterbitkan sebagian besar masih merupakan percontohan bukan berdasarkan kebutuhan hal inilah yang menyebabkan nilai pembiayaan Resi Gudang pada tahun 2008 relatif kecil. Kemudian pada tahun 2009 meskipun terdapat satu daerah baru percontohan yaitu di daerah Karanganyar Jawa Tengah namun perkembangan nilai barang dan jumlah pembiayaan mengalami penurunan. Penurunan ini bukan semata-mata karena menurunnya minat pelaku usaha namun lebih karena manfaat dari Sistem Resi Gudang ini memang belum benar-benar dirasakan mengingat pada semester kedua 2008 dan awal tahun 2009 harga komoditi terutama jagung dan gabah relatif lebih stabil. Disamping itu kendala yang nyata terasa dirasakan adalah minimnya infrastruktur yang memenuhi persyaratan serta kurangnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam implementasi SRG peran pemerintah daerah tidak kalah besar dengan peran pemerintah pusat terlebih lagi dengan adanya otonomi daerah.

    Untuk mengatasi beberapa kendala tersebut pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan lembaga SRG melakukan beberapa stimulan untuk menggerakkan sistem ini. Pada Tahun 2009 melalui dana stimulus fiskal pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan pemerintah daerah melakukan pembangunan gudang SRG di 34 daerah kabupaten yang tersebar di 10 propinsi di Indonesia. Disamping itu, secara paralel dilakukan pula pendekatan dengan pihak perbankan dan bersama dengan Kementerian Keuangan pada akhir 2009 terbitlah peraturan Menteri Keuangan Nomor: 171/PMK.05/2009 Tentang Skema Subsidi Resi Gudang yang mengatur tentang pemberian subsidi bunga kepada petani, kelompok tani, gapoktan dan koperasi tani untuk kredit yang menggunakan Resi Gudang sebagai agunannya. Secara Teknis operasional di lapangan pertauran Menteri Keuangan tersebut didampingi dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.

    Beberapa stimultan yang diupayakan yang disebutkan diatas terbukti mampu meningkatkan minat pelaku usaha terutama petani, kelompok tani, gapoktan dan koperasi tani untuk memanfaatkan Sistem Resi Gudang. Hal ini dapat dibuktikan dengan meluasnya daerah implementasi SRG yang diikuti dengan peningkatan jumlah Resi Gudang yang diterbitkan, volume komoditi, nilai barang dan jumlah pembiayaan Resi Gudang pada tahun 2010 yang cukup tajam. Jika pada tahun 2008 daerah implementasi SRG masih terbatas pada daerah percontohan saja yaitu banyumas, indramayu, gowa, jombang yang kemudian pada tahun 2009 menurun menjadi 3 daerah saja yaitu karanganyar, indramayu dan gowa, maka pada tahun 2010 implementasi SRG mulai berkembang di Banyuwangi, Sidrap, Pinrang, Subang dan Barito Kuala. Dan pada tahun 2011 mendatang diperkirakan beberapa daerah yang telah mendapat pembangunan gudang SRG juga akan mulai mengimplementasikan SRG mengikuti Kabupaten Barito Kuala dan Subang yang sudah lebih dulu memanfaatkannya, daerah-daerah tersebut antara lain, Demak, Jepara, Kudus, Madiun, Bantaeng, Cianjur, Bantul, Ngawi dan Pidie Jaya.

    Meskipun jumlah daerah dan Nilai Resi Gudang terus berkembang namun jika dilihat dari jenis komoditi yang diterbitkan Resi Gudangnya masih terbatas pada komoditi pangan seperti jagung dan gabah. Bahkan pada tahun 2010 ini semua Resi Gudang yang terbit adalah untuk komoditi gabah dengan berbagai varietas mulai dari IR 64, Ciherang, maupun beras ketan. Perkembangan nilai barang dan jumlah pembiayaan secara bulanan dapat dilihat pada grafik 1.

     

    Gambar 1. Grafik Perkembangan Nilai Resi Gudang dan Pembiayaannya

    Sumber: Data Pengawasan Bappebti Kementerian Perdagangan

     

    Dari grafik tersebut dapat dilihat dengan jelas fluktuasi perkembangan Nilai Barang yang diresigudangkan setiap bulannya. Jika ditinjau dari jenis komoditi yang diresigudangkan yaitu gabah maka hal ini tidak akan tampak mengejutkan karena gabah adalah komoditi pertanian yang bersifat musiman. Panen gabah dilakukan tiap 3-4 bulan sekali dan ada masa panen raya dan paceklik. Ada satu yang menarik disini yaitu pada tahun 2008 dan 2010 nilai barang tertinggi yang diResi Gudangkan terdapat pada bulan april-mei dan september-oktober. Untuk lebih jelasnya lagi mari kita lihat perkembangan harga gabah pada tahun 2008 – 2010 berikut ini:

    Grafik 2. Perkembangan Harga Gabah di Indonesia Tahun 2008 - 2010

    *) sumber: Informasi Harga Kementerian Pertanian diolah

    Berdasarkan grafik perkembangan harga tersebut dapat dilihat bahwa terdapat pola yang hampir serupa dalam fluktuasi harga gabah bulanan sepanjang tahun. Menjelang akhir tahun harga gabah selalu melonjak naik sementara harga gabah terendah terjadi pada bulan-bulan maret-mei yang kemudian secara perlahan naik dan pada bulan september-oktober akan kembali mengalami penurunan yang akhirnya diikuti kenaikan cukup tajam menjelang akhir tahun.

    Jika dibandingkan dengan perkembangan nilai barang yang diresigudangkan dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang negatif antara perkembangan harga gabah dengan nilai barang yang diresigudangkan. Pada saat harga turun minatpemilik barang untuk menyimpan barang akan meningkat dan pada saat harga beranjak naik maka minat untuk menyimpan barang semakin menurun.

    Dari kedua grafik tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya pemilik barang yang memanfaatkan Resi Gudang sudah cukup paham akan pergerakan harga komoditi yang mereka miliki dimana dalam kasus ini adalah gabah. Mereka cukup jeli melihat kondisi pasar sehingga tahu kapan harus menyimpan barang dan kapan harus menjualnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tipis kemungkinan pemilik barang mengalami risiko penurunan harga.

    Beberapa data perkembangan Sistem Resi Gudang yang disebutkan diatas tidak akan ada artinya apabila manfaat dari Sistem Resi Gudang tidak dapat dirasakan secara nyata oleh pemilik barang. Sekarang mari kita tengok lebih dalam tentang implementasi SRG di lapangan. Ambil satu contoh yang terbaru yaitu di Kabupaten Subang. KSU Annisa pada bulan Oktober menyimpan gabah sebanyak 60 ton gabah ketan. Pada saat itu harga gabah ketan tersebut adalah Rp. 5.000,-/kg. Biaya penyimpanan yang dia bayarkan kepada PT. Pertani selaku Pengelola Gudang di kabupaten Subang adalah sebesar Rp. 4.500.000,-. Pada bulan Desember gabah ketan yang disimpan dibeli dengan harga Rp. 5.900,-/kg. dalam selang waktu 2 bulan KSU Annisa dapat memperoleh selisih harga sebesar Rp. 900,-/kg maka perhitungan keuntungannya adalah sebagai berikut:

    Jika dijual langsung: 60.000 x Rp. 5.000,- /kg = Rp. 300.000.000,-

    Dengan disimpan 2 bulan:

    Biaya Penyimpanan Rp. 4.500.000,-

    Bunya Bank 6% X 2/12 X Rp. 189.000.000,- = Rp. 1.890.000,-

    Harga Jual setelah disimpan 2 bulan = 60.000 x Rp. 5.900,-/kg = Rp. 354.000.000,-

    Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga)

    = Rp. 354.000.000,00 – (Rp. 300.000.000,- + Rp. 4.500.000,- + Rp. 1.890.000)

    = Rp. 354.000.000,00 – Rp. 306.390.000,00

    = Rp. 47.610.000,-

    Contoh tersebut hanyalah satu dari beberapa cerita sukses implementasi SRG yang ada, manfaatnya nyata tersebut juga telah dirasakan terlebih dahulu oleh Kelompoktani wargo tani yang ada di Banyuwangi, Gapoktan Jaya Tani di Indramayu, dan bahkan Koperasi Celebes Mandiri di Sidrap Sulawesi Selatan.

    Implikasi Sistem Resi gudang yang menyebar keseluruh bidang sektor mulai dari hulu sampai hilir (pertanian- industri) akan memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan perekonomian baik daerah maupun nasional. Dampak yang nyata dapat dirasakan adalah adanya peningkatan pendapatan petani, tumbuhnya industri pergudangan di daerah, berkembangnya lembaga-lembaga pembiayaan, yang akhirnya secara makro akan meningkatkan distribusi pendapatan daerah. Disamping itu implementasi SRG juga akan memberikan dampak yang tidak kentara (intangible) berupa tumbuhnya pola kemandirian usaha dan enterpreneurship pada petani dan pelaku usaha, hilangnya budaya paradigma lama atas penerimaan akan kemajuan teknologi dan peningkatan interaksi petani lokal dengan dunia maya(Internet) dalam memperoleh informasi (Litbang, 2008).

    Jika dilihat dari keuntungan yang dirasakan baik secara tengible maupun intangible maka sudah seharusnya untuk masa-masa mendatang Sistem Resi Gudang bisa menjadi Solusi bagi semua pemilik komoditi untuk memperoleh pembiayaan dengan jaminan komoditi yang disimpan di gudang dengan tanpa kehilangan hak kepemilikannya meskipun harga belum sesuai dengan harapan.

    Kesuksesan Implementasi SRG untuk saat ini dapat terjadi karena adanya komitmen yang kuat dari setiap unsur kelembagaan SRG serta dukungan yang tidak ada henti-hentinya dari Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat. Untuk mewujudkan implementasi SRG yang sesuai dengan Undang-Undang No 9 Tahun 2006 merupakan pekerjaan besar bagi semua pihak dan merubah pola kebiasaan yang ada di masyarakat tidaklah semudah membalikan tangan.