PENTINGNYA PASAR TERORGANISIR KAKAO

 

Redaksi Buletin Kontrak Berjangka

 

 

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) pada 4 November 2009, di Jakarta, menyelenggarakan konsiyering dengan Komite Perdagangan Berjangka Komoditi. Salah satu topik menarik dibahas pada pertemuan tersebut, menyangkut kontrak berjangka komoditi kakao. Dan pada 23 November 2008, Bappebti kembali menggelar pembahasan kajian pengembangan perdagangan berjangka komoditi (PBK) dan penyusunan manual penilaian proposal kontrak berjangka komoditi kakao.

Inti dari dua perhelatan itu menyelusuri pentingnya perdagangan komoditi kakao secara terorganisir di tanah air. Mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen utama komoditi kakao. Di sisi lain, komoditi kakao merupakan salah satu subjek perdagangan berjangka komoditidi bursa berjangka dari sebanyak 22 jenis komoditi yang diberi izin pemerintah.

Kepala Bappebti Deddy Saleh, dalam arahannya pada acara tersebut, mengatakan, bursa berjangka yang didirikan berdasarkan UU No.32 tahun 1997, bertujuan untuk menjadi sarana lindung nilai (hedging) dan pembentukan harga (price discovery) bagi para pelaku usaha, namun hingga saat ini tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Sebagai negara produsen utama dunia untuk beberapa komoditi primer, perdagangan berjangka komoditi primer di Bursa Berjangka Indonesia belum berkembang baik.

Sejak pendirian BBJ 9 tahun yang lalu, baru ada 3 subjek kontrak komoditi yang diperdagangkan di bursa, yakni turunan CPO, Kopi Robusta, dan Emas. Saat ini kontrak yang tersisa hanya tinggal 2 komoditi, yaitu Olein dan Emas beserta turunannya. Dilihat perkembangannya sungguh memprihatinkan karena hanya menyumbangkan 2 persen dari total volume transaksi.

Untuk itu perlu dilakukan pengkajian kelayakan komoditi kakao sebagai subjek kontrak berjangka dan untuk mendukung penilaian terhadap kelayakan proposal kontrak berjangka, perlu disusun konsep manual penilaian proposal kontrak berjangka.

Selanjutnya berkaitan dengan penyusunan manual proposal kontrak berjangka, Deddy juga menganggap kegiatan tersebut sangat penting. Terutama suatu panduan dalam penilaian serta analisis proposal kontrak berjangka yang diusulkan oleh Bursa Berjangka. Selain itu, penyusunan manual proposal kontrak tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman yang sama dalam menilai suatu kontrak berjangka sebelum kontrak tersebut mendapat persetujuan untuk diperdagangkan di Bursa Berjangka.

 

Dikuasai Asing

Paparan wakil dari Biro Analisis Pasar Bappebti mengungkapkan, komoditi kakao merupakan komoditi argoindustri yang mempunyai peranan penting terhadap kinerja ekspor non-migas Indonesia. Di pasar internasional, Indonesia merupakan eksportir keempat terbesar dengan pangsa 11,73 persen dari total ekspor kakao dunia. Dari sisi produksi tahun 2003-2004, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa 14,18 persen dari total produksi dunia.

Perkebunan kakao di Indonesia yang sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang masih bersifat tradisional, sehingga mutu biji kakao Indonesia cenderung rendah. Demikian pula, tingkat produktivitas perkebunan kakao di Indonesia pada umumnya masih rendah apabila dibandingkan dengan Pantai Gading dan Ghana, yaitu rata-rata berkisar 613,35 kg/ha pada tahun 2008. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah banyaknya tanaman yang sudah berumur tua dan parahnya penyebaran hama Penggerek Tanaman Buah Kakao (PTBK).

Selanjutnya dijelaskan oleh wakil dari Bappebti, harga kakao sangat dipengaruhi oleh musim panen dan pengelolaan tanaman kakao. Pada masa panen harga cenderung menurun karena ketersediaan kakao yang cukup besar, namun sesudah masa panen harga cenderung meningkat. Sebab itu pelaku usaha kakao perlu memanfaatkan sistem resi gudang sebagai alternatif pembiayaan untuk menjaga ketersediaan kakao dan memanfaatkan sarana lindung nilai (hedging) untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi harga kakao di pasar.

Kemudian diungkapkan bahwa saat ini masih terdapat beberapa hambatan dalam jalur distribusi kakao. Diantaranya, masalah jarak tempuh dari areal perkebunan ke lokasi pasar dan pelabuhan yang relatif jauh, kondisi jalan yang kurang memadai dan alat transportasi yang terbatas. Sehingga menyebabkan mata rantai perdagangan kakao menjadi panjang. Akibatnya, harga menjadi mahal, sementara petani hanya menerima harga yang sudah ditentukan pihak pedagang.

Tetapi hambatan ini dapat diatasi melalui kerjasama dengan prosesor. Sehingga dapat membentuk jaringan transportasi yang langsung kepada pembeli, baik industri ataupun eksportir. Kendala dalam kerjasama dengan prosesor mencakup sulitnya menyeragamkan mutu kakao, dan naluri bisnis yang berbeda. Dalam arti, ada yang tertarik mengelola usahanya untuk kepentingan jangka panjang. Namun, banyak pula yang tertarik mengeruk keuntungan sesaat.

Disoroti juga lemahnya posisi tawar petani kakao Indonesia di pasar Internasional, karena kurangnya informasi pasar, dan sistem perdagangan biji kakao di tingkat petani dikuasai oleh eksportir asing. Apalagi kemudian adanya perlakuan diskriminatif di beberapa negara tujuan ekspor seperti Cina, Malaysia, India da Eropa terhadap produk kakao olahan Indonesia (cocoa butter dan cocoa powder) dengan pengenaan tarif Bea Masuk (BM) antara 15 persen hingga 38 persen.

Negara tujuan utama ekspor biji kakao antara lain Malaysia, Amerika, Singapura, Brazil dan Cina yang mencakup 93,1 persen dari total ekspor kakao Indonesia. Sementara permintaan kakao dunia selama periode 2004-2008 menunjukkan peningkatan yang terlihat dari laju pertumbuhan impornya sebesar 3,39 persen per tahun.

 

Kakao BBJ

Hingga saat ini, negara yang memperdagangkan kontrak berjangka komoditi kakao di bursa berjangka hanya ada dua negara. Yakni, Amerika Serikat dan Inggris. Di bursa LIFFE, NYBOT, NYMEX dan CME. Dua negara itu diketahui tidak memiliki kebun kakao, tetapi mereka mampu memperdagangkan kontrak berjangka kakao secara likuid. Hal itu, selain sejarahnya yang panjang, dua negara tersebut merupakan pasar hilir konsumen kakao. Dan, di wilayah Eropa serta Amerika terdapat sejumlah produsen kakao terbesar dunia.

Menurut ketua Askindo, Halim A Razak, bila Indonesia sungguh-sungguh memperdagangkan kontrak berjangka kakao, Indonesia merupakan negara ketiga di dunia yang memperdagangkan komoditi kakao. Hal ini akan menguntungkan bagi pengusaha kakao, karena tidak perlu lagi bertransaksi di bursa luar negeri.

Tetapi menurut hematnya hal itu sulit diwujudkan tanpa dimulai dengan pembentukan pasar fisik kakao. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mendorong berdirinya pasar fisik kakao. Dan akan sulit bersaing dengan bursa berjangka luar negeri itu, karena pasarnya sudah likuid, pengusaha kakao dari seluruh dunia sudah bertransaksi di bursa asing itu.

Jadi sebaiknya Indonesia mendirikan pasar fisik kakao terlebih dahulu, dengan demikian asing akan masuk ke pasar fisik dan mereka bisa melakukan lindung nilai di bursa luar negeri. Kemudian jika pasar sudah likuid, pelan-pelan kita arahkan mereka lindung nilai di bursa berjangka Indonesia.

Sementara itu, wakil dari Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) mengungkapkan, BBJ sudah sejak beberapa tahun lalu mencoba memperdagangkan kontrak kakao. Tetapi belum mendapat izin dari Bappebti, karena Bappebti menilai masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi BBJ.

BBJ saat ini sudah mempersiapkan spesifikasi kontrak berjangka kakao yang siap dinilai Bappebti. Bila dalam waktu dekat ini disetujui, BBJ akan meluncurkan kontrak berjangka kakao pada tahun 2010. Menurutnya, selain kontrak kakao, BBJ juga sudah mempersiapkan kontrak berjangka kopi dan batubara. Mereka mengharapkan di tahun 2010 kontrak berjangka itu sudah diperdagangkan di BBJ.

Luas Area dan Jumlah Produksi Kakao Indonesia Tahun 2004-2008

Tahun Luas Area (Ha) Jumlah (Ha) Produksi (ton) Jumlah (ton)
PR PBN PBS PR PBN PBS
2004 1.081.102 38.668 49.040 1.090.960 636.783 25.830 29.091 691.704
2005 1.219.633 38.295 47.649 1.167.046 693.701 25.494 29.633 748.828
2006 1.272.781 48.930 52.257 1.320.820 702.207 33.795 33.384 769.386
2007 1.364.408 57.343 49.155 1.379.279 671.370 34.643 33.993 740.006
2008 1.364.408 57.395 51.456 1.473.259 721.413 36.226 35.122 792.761
2009* 1.476.753 61.831 54.398 1.592.982 773.858 38.138 37.879 849.875

 

Sumber : Ditjenbun Deptan

Keterangan :

PR : Perkebunan Rakyat
PBN : Perkebunan Besar Negara
PBS : Perkebunan Besar Swasta
* : estimasi