SRG SKEMA PEMBIAYAAN PERTANIAN YANG EFEKTIF

 

Prof. Dr. Bustanul Arifin
*) Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA Dewan Pendiri/Ekonom Senior INDEF-Jakarta

 

 

Setelah melalui serangkaian pembahasan, diskusi panjang dan lobilobi melelahkan, upaya melakukan pemutihan tunggakan kredit usaha tani (KUT) nampaknya akan menjadi kenyataan. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan pemerintah akan memutihkan KUT sekitar Rp 5,7 triliun untuk membantu memperlebar akses petani kepada perbankan. Intinya, petani yang menunggak kredit akan dihapus namanya dari Sistem Informasi Debitor (SID) di Bank Indonesia, sehingga mereka berpeluang mengajukan permohonan jenis pembiayaan pertanian lainnya saat ini, seperti kredit usaha rakyat (KUR), kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) dan sebagainya.

Banyak petani di Indonesia, utamanya petani tanaman pangan, tidak mampu memperoleh kredit baru bersubsidi dan berbunga lunak ini, karena mereka masih tercantum damainya di dalam SID Bank Indonesia. Di sisi lain, daya serap penyaluran kredit bersubsidi ini di sektor pertanian masih cukup rendah. Misalnya, lebih dari 60 % KUR disalurkan bukan kepada petani atau sektor pertanian, tetapi kepada pedagang komoditas, penyedia jasa, pengecer dan sebagainya. Bahwa petani dan sektor pertanian memerlukan pembiayaan dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lain tentu tidak terbantahkan. Sekian macam skema pembiayaan pertanian telah dicobakan sepanjang sejarah modern pembangunan ekonomi Indonesia, baik melalui subsidi bunga seperti kredit program, maupun melalui kredit komersial tapi terkawal secara baik.

Kisah keberhasilan Program Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) dan lain-lain dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pangan pada era Orde Baru tentu tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan akses pembiayaan murah dan bersubsidi yang diberikan kepada petani tanaman pangan, khususnya padi. Sebagian lagi, kredit program itu juga disalurkan dalam bentuk natura dan/atau yang terpaket dengan program peningkatan produksi pangan dan pertanian umumnya. Menariknya lagi di lapangan, kredit program yang disebutkan di atas bahkan masih dapat “hidup berdampingan” dengan skema pembiayaan non-formal yang diberikan oleh peminjam uang tingkat desa (rentenir), yang tersebar di beberapa desa di Indonesia. Para pedagang pengumpul juga masih dengan leluasa memberikan pinjaman modal kepada petani untuk membeli sarana produksi pertanian, seperti benih, pupuk, pestisida, sampai pada modal kerja lain.

Kredit program di sektor pertanian dengan bunga rendah ini sempat terlupakan dari hiruk-pikuk pola pembangunan yang bertumpu pada industrialisasi rapuh, yang hanya mengandalkan konglomerasi dan penguasaan aset secara tidak terkontrol, serta pola pembiayaan kepada kelompok usahanya sendiri. Prinsip-prinsip kehatihatian perbankan (prudential banking) nyaris tidak diperhatikan, sehingga terdapat kesenjangan yang signifikan dalam pembiayaan aktivitas ekonomi riil masyarakat.

Di satu sisi, terdapat akses pembiayan yang nyaris tidak terbatas bagi mereka yang memiliki kedekatan bisnis tertentu dengan sektor perbankan. Di sisi lain, bagi sektor ekonomi yang tidak memiliki kedekatan bisnis tertentu dengan perbankan, akses pembiayaan itu nyaris hanya berada di atas kertas. Semua paham bahwa pola yang terakhir inilah yang menjadi cikalbakal krisis ganda di sektor keuangan dan perbankan serta krisis nilai tukar, yang akhirnya menjadi krisis ekonomi dan politik yang mewarnai pergantian rezim di Indonesia.

 

KUT

Pada awal era Reformasi, pemerintah mencoba menghidupkan kembali kredit program bagi sektor pertanian dengan meluncurkan Kredit Usahatani (KUT). Program perumusan KUT ini sebenarnya jauh lebih seru dan dahsyat mengingat tarik-menarik kepentingan dan afiliasi politik karena Indonesia sedang fokus pada penyehatan perbankan, lembaga keuangan dan pemulihan perekonomian secara umum. Program KUT diberikan pemerintah pada 1998-1999 senilai Rp 7 triliun, untuk menanggulangi krisis ekonomi dan memberikan suntikan permodalan kepada sektor pertanian, yang mulai terimbas penurunan daya beli yang sangat signifikan. Benar, bahwa sektor pertanian sempat menikmati keuntungan sesaat (windfall profit) karena nilai jual komoditas pertanian melonjak berlipat-lipat, yang sebenarya identik dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Ketika petani pada waktu itu juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga-harga yang semakin menjulang, maka keuntungan sesaat itu juga menjadi petaka bagi kehidupan petani, dan perekonomian Indonesia umumnya. KUT disalurkan oleh perbankan negara (BUMN) dan swasta, baik melalui mekanisme eksekusi langsung (executing) maupun mekanisme penyaluran biasa (channeling).

Debat publik pun pada waktu itu cukup ramai, di antaranya karena ada yang menganggap bahwa KUT itu bukan merupakan produk perbankan, tapi program pemerintah yang “dititipkan” kepada sektor perbankan. Misalnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyalurkan KUT dengan dana yang bersumber dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 2,8 triliun melalui skema eksekusi dan skema saluran biasa. Bank Bukopin juga menyalurkan KUT sebesar Rp 1,8 triliun, walaupun cukup banyak persentase yang menunggak (Kompas, 24 Agustus 2011). Total jumlah KUT yang tertunggak diperkirakan Rp 5,7 triliun (81,4 %), suatu jumlah tunggakan yang sangat besar untuk suatu program pembiayaan pertanian. Tunggakan KUT inilah yang saat ini hendak diputihkan oleh pemerintah, dengan alasan untuk memberi kesempatan kepada petani penunggak agar mampu mengajukan kredit sejenis di kemudian hari. Nama-nama petani penunggak kredit akan dikeluarkan dari SID Bank Indonesia, konon untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan ekonomi bagi petani.

Gagasan pemerintah itu tentu secara populis akan mendapat simpati karena seakan-akan telah membantu melepaskan beban bagi petani, terutama dari kalangan miskin, yang memang tidak berdaya membayar kembali tunggakan KUT yang macet karena berbagai hambatan yang dihadapi usaha taninya. Akan tetapi, apabila benar bahwa macetnya KUT sebagian besar (65 persen) bukan disebabkan petani, tentu upaya pemutihan tunggakan KUT itu dapat menjadi preseden buruk. Pemutihan itu seakan memberikan perlindungan bagi nasabah nakal, yang biasanya bukan petani, melainkan penumpang gelap (free rider) yang mengambil untung dari adanya akses pembiayaan murah atau kredit program di sektor pertanian. Pemutihan itu juga seakan memberi “hukuman” bagi petani yang rajin membayar angsuran utangnya, karena dipersamakan dengan mereka yang sengaja nakal tidak berniat membayar cicilan itu.

Perjalanan program KUT memang penuh liku dan beragam cerita, karena melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat madani, termasuk tidak kurang dari 27.000 koperasi unit desa (KUD) dengan berbagai tingkat kemajuan dan sofistikasi organisasi dan kelembagaannya. Sebagaimana kredit program lainnya, sistem administrasi dan birokrasi dari KUT jelas tidak sederhana, walaupun dengan pertimbangan untuk memperbaiki kinerja pengawasan, monitoring dan evaluasi program itu sendiri. Justru dari kerumitan administrasi dan birokrasi inilah yang membuat program pembiayaan KUT menemui banyak kesulitan, termasuk sekian kasus penyaluran dana bukan kepada petani, tapi juga ke usaha non-pertanian. Akumulasi sekian macam persoalan dan keraguan sektor perbankan untuk menganggap bahwa KUT itu adalah produk perbankan telah berkontribusi pada tunggakan kredit yang menumpuk sampai akhirnya menjadi kredit macet yang mencapai Rp 5,7 triliun tersebut.

Dari pelajaran dan drama perjalanan KUT sejak awal era Reformasi, merumuskan dan melaksanakan pembiayaan sektor pertanian memang tidak mudah, karena selain persoalan kelembagaan, biaya transaksi yang ditimbulkannya, dan kemungkinan moral hazards dan penyalahgunaan wewenang yang cukup besar. Secara psikologis, apabila sampai tertanam persepsi di kalangan debitur petani (dan non-petani) bahwa kredit sektor pertanian kelakakan diputihkan, maka sangat sulit bagi siapa pun yang akan merancang dan merumuskan kebijakan pembiayaan sektor pertanian. Akibat berikutnya adalah bahwa target peningkatan produksi dan produktivitas pertanian sulit akan tercapai, sehingga upaya peningkatan kesejahteraan petani pun akan terkendala.

 

SRG

Oleh karena itu, beberapa jalan keluar berikut mungkin bermanfaat dalam merumuskan skema pembiayaan pertanian yang efektif ke depan. Pertama, perbaikan komunikasi sektor perbankan (dan lembaga keuangan lain) dengan sektor pertanian. Hal ini untuk menanggulangi missunderstanding atau kesaling-tidak pahaman di antara kedua sektor, karena buruknya komunikasi dan informasi yang diperoleh masing-masing sektor. Dengan perbaikan komunikasi dan pengemasan informasi yang lebih bersahabat, maka diharapkan bahwa perbankan tidak lagi menganggap pertanian sebagai sektor kumuh, miskin, berisiko tinggi dan sebagainya. Demikian pula, pertanian tidak lagi menganggap perbankan sebagai sektor elit, tidak mau tahu karakter petani, usaha tani dan sektor pertanian secara umum.

Kedua, perbaikan produk perbankan yang lebih inovatif dalam membiayai sektor pertanian, sehingga tidak sepenuhnya mengandalkan kredit program yang sering bermasalah seperti diuraikan sebelumnya. Misalnya perbankan dapat mengembangan skema pembiayaan ke depan (forward financing), dengan tingkat bunga komersial biasa. Bahkan perbankan perlu lebih berani merangkul Sistem Resi Gudang (SRG) yang saat ini hanya dinakhodai oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). SRG ini kelak akan lebih kompatibel dengan bursa berjangka komoditas (futures trading), yang menjadi ciri khas negara-negara industri maju.

Ketiga, penyempurnaan skema perlindungan di sektor pertanian, termasuk pemberdayaan petani untuk menanggulangi hambatan permodalan yang dihadapi. Milsanya, wacana pengembangan asuransi tanaman (crop insurance) perlu dihidupkan kembali agar menjadi lebih operasional di lapangan. Asuransi tanaman ini akan sangat bermanfaat mengatasi risiko gangguan cuaca dan perubahan iklim, wabah hama dan penyakit, kegagalan panen dan lain-lain.