1. Latar Belakang
    1. Dampak Globalisasi dan Pasar Bebas Dalam Menghadapi Era Millenium.
      1. Kesepakatan internasional menuntut tidak diberlakukannya lagi kebijakan yang dapat mengganggu mekanisme pasar, seperti kebijakan tarif dan non tarif;
      2. Tidak ada jalan mundur (point no return) untuk kembali pada ekonomi pengaturan, tetapi akan memanfaatkan peluang dari ekonomi pasar;
      3. Perlu kesiapan dari berbagai pihak untuk menggunakan modern marketing & risk management technique, antara lain :
        • Warehouse receipts system (WRS) untuk akses pembiayaan yang murah;
        • Bursa Berjangka Komoditi sebagai sarana pengalihan resiko dan pembentukan harga.
    2. Kondisi yang Terjadi pada Saat Ini.
      1. Perdagangan komoditi merupakan bidang yang memerlukan intensitas kredit yang tinggi. Hal ini justru merupakan kendala di negara-negara berkembang;
      2. Petani/produsen kecil menghadapi masalah untuk akses kredit, seperti biayanya yang tinggi;
      3. Akses pada informasi juga tidak mudah sehingga mengakibatkan harga tidak transparan, permintaan dan harga yang rendah. Warehouse Receipts System pada dasarnya dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas.
  2. Apa Warehouse Receipts itu ?
    1. Yaitu suatu tanda bukti penyimpanan barang yang dapat digunakan sebagai agunan karena tanda bukti tersebut dijamin dengan adanya persediaan komoditi tertentu dalam pengawasan suatu gudang;
    2. Merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan (swapped), digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit, dan dapat diterima sebagai alat pembayaran dalam perdagangan derivatif seperti penyerahan produk di pasar berjangka.
  3. Manfaat Penggunaan Warehouse Receipts
    1. Memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani
      • Petani yang menyerahkan hasil panennya ke gudang-gudang yang berhak mengeluarkan Warehouse Receipts, akan menerima tanda bukti berupa Warehouse Receipts yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman jangka pendek di bank. Dengan demikian, para petani tidak perlu tergesa-gesa menjual hasilnya pada masa panen yang akan mengakibatkan turunnya harga komoditas. Hal ini dilakukan petani, yang berkeyakinan bahwa harga setelah panen akan naik, sehingga dengan menunda penjualan justru akan memberikan hasil yang optimal bagi petani.
      • Pemegang Warehouse Receipts dapat memperoleh sumber kredit dari luar negeri yang biaya bunganya jauh lebih rendah dibandingkan di dalam negeri. Kredit akan lebih mudah diperoleh khususnya untuk komoditi ekspor seperti kopi, lada, tembakau dll.
      • Tingkat bunga pinjaman selalu dikaitkan dengan tingkat resiko dari agunan yang diberikan. Untuk itu, jaminan dari Warehouse Receipts atas jumlah, kwalitas, dan ketepatan waktu penyerahan barang akan dapat mengurangi tingkat resiko yang dihadapi komoditi. Dengan demikian tingkat bunga pinjaman dengan agunan warehouse receipts dapat lebih rendah. Biaya bunga pinjaman akan dapat dikurangi lagi jika pengeluaran Warehouse Receipts diikuti dengan penerbitan 'insurance bonds' dan adanya dana jaminan ganti rugi (indemnity fund).
    2. Sebagai Agunan Bank
      • Sebagai agunan bank, karena memberikan jaminan adanya persediaan komoditi dengan kwalitas tertentu kepada pemegangnya tanpa harus melakukan pengujian secara fisik;
      • Warehouse Receipts dapat dimanfaatkan petani untuk pembiayaan produknya, sedangkan bagi produsen untuk membiayai persediaannya.
      • Bila terjadi penyimpangan dalam sistem ini, para pemegang Warehouse Receipts dijamin akan memperoleh prioritas dalam penggantian sesuai dengan nilai agunannya.
      • Terkumpulnya persediaan komoditi dalam jumlah besar akan mempermudah memperoleh kredit dan menurunkan biaya untuk memobilisasi sektor agrobisnis.
    3. Mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif
      • Warehouse Receipts memberikan informasi yang diperlukan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi, yang merupakan dasar untuk melakukan perdagangan komoditi secara luas. Keberadaan Warehouse Receipts dapat meningkatkan volume perdagangan sehingga dapat menurunkan biaya transaksi. Hal ini dimungkinkan karena dalam bertransaksi tidak perlu lagi dilakukan inspeksi terhadap barang yang disimpan, baik yang ada di gudang atau di tempat transaksi. Di negara-negara yang telah menerapkan sistem ini transaksi umumnya hampir tidak pernah lagi dilakukan di gudang.
      • Bila transaksi dilakukan untuk penyerahan barang dikemudian hari (perdagangan berjangka), Warehouse Receipts dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memenuhi kontrak berjangka di Bursa Komoditi yang jatuh tempo.
      • Memberikan agunan bagi dunia usaha untuk melakukan transaksi.
    4. Mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga di bidang komoditi
      • Bila harga komoditi strategis berada dibawah harga dasar, maka pemerintah dapat membeli warehouse receipts dokumen, sehingga tidak perlu lagi menerima penyerahan barang secara fisik.
      • Karena adanya jaminan kwalitas dan kuantitas komoditi di gudang-gudang penyimpanan, maka Pemerintah dalam rangka pengelolaan cadangan strategis cukup memegang warehouse receipts saja.
      • Bila swasta melakukan pembelian, penyimpanan dan penjualan komoditi melalui mekanisme Warehouse Receipts dalam jumlah yang besar dan sekaligus melakukan lindung nilai di pasar berjangka, maka peran pemerintah dalam stabilisasi harga dapat dihapuskan. Memberikan kepastian nilai minimun dari komoditi yang dijadikan agunan.
      • Karena sifat komoditi primer yang cepat rusak dan standar kualitasnya berbeda-beda maka tanpa adanya Warehouse Receipts dan lindung nilai, bank-bank umumnya akan memberikan kredit sebesar 80-90% dari nilai agunan.
      • Bank dapat memberikan kredit yang lebih besar kepada peminjam yang melakukan lindung nilai (hedging) untuk komoditi yang dijaminkannya (sampai dengan 80-90% dari nilai agunan).
  4. Skema Pemanfaatan Warehouse Receipts System

    Untuk dapat memanfaatkan skema ini, para produsen kecil, termasuk petani, diorganisir dalam Asosiasi petani/Koperasi, yang selanjutnya menyimpan produk mereka di perusahaan pergudangan yang berhak mengeluarkan sertifikat Warehouse Receipts. Sertifikat inilah yang menjadi bukti agunan yang dapat diserahkan ke bank untuk memperoleh kredit. Skema pemanfaatan Warehouse Receipts dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.

  5. Berbagai Sumber Kredit Dengan Agunan Warehouse Receipts
    1. Kredit dari Bank

      Akses kredit, termasuk bagi petani, tergantung dari kemampuan peminjam dalam memberikan agunan yang bersifat permanen seperti gedung dan tanah yang dapat diterima bank. Apabila seorang petani tidak memiliki akses untuk memperoleh kredit secara formal, maka petani tersebut mencari pinjaman secara informal dengan bunga tinggi atau terpaksa menjual hasil panennya pada harga yang rendah. Sebenarnya yang menyebabkan petani kecil tidak dapat menyediakan agunan adalah karena mereka tidak memiliki hak yang sah atas tanah yang mereka kelola. Untuk mengatasi keadaan tersebut pemecahan yang dapat dilakukan adalah menawarkan hasil panen mereka sebagai agunan. Di beberapa negara petani telah memanfaatkan fasilitas Warehouse Receipts dengan cara menyerahkan komoditi hasil panennya ke gudang-gudang yang diakui, dan dengan sertifikat yang dipegangnya mereka pergi ke bank untuk memperoleh kredit. Kredit yang diperoleh dapat mencapai 80-90% dari nilai agunan dan dengan tingkat bunga murah.
      Bank pemegang Warehouse Receipts merasa aman karena selama komoditi berada di gudang, maka resiko dari komoditi dapat dibatasi, kwalitas dapat diawasi, dan resiko komoditi dapat dialihkan. Biaya kredit melalui Warehouse Receipts juga lebih murah dibandingkan dengan biaya kredit dari sektor formal ataupun informal yang tidak menggunakan Warehouse Receipts.

    2. Green Clause Letter of Credit

      Green Clause Letter of Credit memberikan kemampuan pada pembeli di luar negeri untuk memberikan kredit kepada eksportirnya atas sebagian dari nilai produk yang akan diekspornya, dengan syarat eksportir mengirimkan Warehouse Receipts yang memuat informasi tentang jumlah barang dan rencana tanggal pengapalan komoditi untuk ekspornya. Mekanisme ini bertujuan untuk membantu eksportir dalam memperoleh dana pada masa pasca panen dan kredit tersebut jatuh tempo pada saat komoditi di ekspor ke negara tujuan beberapa bulan kemudian.

 

Jakarta, Agustus 2001