Mengukur Efisiensi Relatif Pialang Bursa Berjangka Jakarta

 

Oleh: Nurlisa Arfani

 

 

Kinerja pialang yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat efisiensi pialang dalam menjalankan bisnisnya. Pialang dikatakan efisien apabila ia memiliki score efisiensi relatif (Epp) sebesar 100%. Sedangkan pialang terbaik (best-practice) adalah pialang efisien yang memiliki nilai cross efficiency (Cp) terbesar tetapi memiliki nilai FPI terkecil.

Industri perdagangan berjangka (futures trading) telah disahkan sejak 15 Desember 2000 yang ditandai dengan berdirinya Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), bursa ini diharapkan sebagai salah satu sektor ekonomi yang dapat mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia yang sedang dilanda krisis. Salah satu ujung tombak dalam mensukseskan perdagangan berjangka adalah perusahaan pialang berjangka, perusahaan inilah yang mengenalkan dan memasarkan kontrak-kontrak tersebut kepada para investor (nasabah). Pembinaan terhadap pialang sangat diperlukan, pembinaan ini di samping untuk meningkatkan volume perdagangan juga bermanfaat untuk mewujudkan kegiatan perdagangan berjangka yang teratur, wajar, efisien, dan efektif serta dalam suasana persaingan yang sehat. Guna mendukung perkembangan perdagangan berjangka, pialang yang ada haruslah beroperasi secara efisien sehingga dapat menghasilkan perdagangan yang efisien pula.

Pengukuran kinerja absolut perusahaan pialang yang bergerak di bidang jasa ini sangat sulit dilakukan, hingga saat ini pengukuran tersebut belum memiliki format yang baku di BAPPEBTI. Di samping itu, mengingat usia perdagangan berjangka yang relatif masih muda, praktek-praktek bisnis yang dijalankan para pialang yang terbukti mampu meningkatkan kinerja pialang masih sedikit dan sulit ditemukan.

BAPPEBTI disamping sebagai pengawas perdagangan berjangka juga berfungsi sebagai badan pembina perdagangan berjangka yang antara lain berperan untuk meningkatkan kinerja pialang dalam menggunakan sumber daya internal (antara lain sumber daya manusia dan modal) maupun dalam meningkatkan persaingan yang sehat di antara sesama pialang sehingga akan tercipta pasar perdagangan bursa berjangka yang handal dan efisien dalam operasionalnya.

Untuk memudahkan pembinaan terhadap kinerja para pialang tersebut, maka penulis mencoba menginvestigasi model pengukuran kinerja perusahaan pialang yang lebih fleksibel dan lebih sederhana yang mampu menentukan pialang dengan praktek terbaik dalam menjalankan aktifitasnya. Pialang ini dapat digunakan sebagai sebagai tolok ukur bagi pialang lainnya karena telah terbukti berhasil secara efektif menerapkan proses operasional yang baik. Lebih lanjut pengukuran efisiensi relatif ini dapat dimanfaatkan juga merating pialang-pialang tersebut.

Adapun ukuran kinerja yang dimaksud dalam tulisan ini adalah efisiensi relatif dari masing-masing pialang dan metode pengukuran yang digunakan adalah metode DEA (Data Envelopment Analysis) yaitu suatu metoda non parametrik, yang membandingkan masukan dengan hasil yang dicapai oleh masing-masing pialang. Metode ini nyatanya telah berhasil digunakan untuk mengukur efisiensi relatif dari suatu entitas yang beroperasi pada bidang yang sama dengan menggunakan sumber daya yang relatif sama dan jenis keluaran yang sama pula.

Pengukuran efisiensi relatif pialang sebagaimana dimaksudkan diatas sangat dibutuhkan sebagai dasar bagi pialang untuk memperbaiki kinerjanya dengan melakukan proses benchmarking. Pengukuran kinerja dilakukan dengan menghitung efisiensi relatif suatu pialang terhadap pialang lainnya. Variabel input dan output yang akan dianalisis merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja pialang dalam memasarkan kontrak berjangka pada tahun 2002.

Setelah diperoleh pialang dengan efisiensi terbaik (best-practice), maka selanjutnya dilakukan proses benchmarking. Praktek-praktek terbaik yang diterapkan pialang tersebut dijadikan acuan oleh pialang lain yang kurang efisien untuk diimplementasikan di lingkungan kerjanya sesuai dengan budaya perusahaan, kondisi dan karakteristik dari pialang tersebut. Dengan demikian diharapkan kinerja para pialang dapat ditingkatkan secara bersama-sama dalam waktu yang relatif lebih singkat.

 

SEKILAS KONSEP PENGUKURAN EFISIENSI RELATIF DAN BENCHAMRKING

Pembahasan tentang pengukuran efisiensi relatif bermula dari sebuah konsep yang dikembangkan oleh Farrel (1957) yang menjelaskan bahwa sebuah garis batas produksi (production frontier) adalah sebuah hubungan teknologi yang menggambarkan output maksimum yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan yang efisien dari berbagai penggunaan kombinasi input dalam beberapa periode.

Sebagai penyederhanaan, konsep tersebut dapat dilihat melalui Gambar 1 di bawah ini. Dari gambar terlihat bahwa titik-titik A, B, C, D dan E adalah lima perusahaan yang menghasilkan satu output y yang sama jenisnya dengan menggunakan dua input x1 dan x2 yang sama pula jenisnya. Evaluasi efisiensi dari kelima perusahaan tersebut dimulai dari pengumpulan data hasil observasi dan menarik garis lurus diantara hasil observasi yang terdekat dengan sumbu, yang selanjutnya dapat kita bungkus (envelope) hasil observasi tersebut sehingga mendapatkan garis batas Q-Q’. Perusahaan A, C dan E adalah perusahaan yang paling efisien dan menunjukan sebagai perusahaan dengan praktek bisinis terbaik untuk dapat dijadikan referensi bagi perusahaan lainnya. Berdasarkan definisi dari garis batas produksi di atas, jelas bahwa tidak ada perusahaan yang menghasilkan nilai seperti titik k yang berada di bawah garis Q-Q’ karena perusahaan seperti ini tidak layak secara teknis. Pada sisi lain, sebuah perusahaan yang beroperasi pada titik B atau berada diatas garis Q-Q’ akan inefisien secara teknis karena titik a menggambarkan output yang sama yang dapat dihasilkan oleh perusahaan dengan menggunakan faktor rasio input, akan tetapi dengan jumlah input yang lebih kecil. Farrel menyatakan bahwa rasio Oa/OB sebagai ukuran nyata inefisiensi teknis dari perusahaan pada titik B serta menunjukan ratio dari input yang secara teknis dibutuhkan terhadap input yang digunakan secara aktual untuk menghasilkan satu unit output yang ditunjukan oleh aktual input.

Satu hal yang perlu dicermati akan kekurangan dari pendekatan Farrel di atas adalah asumsi Constant Return to Scale (CRS) yang menyatakan bahwa skala produksi tidak mempengaruhi efisiensi. Memperhatikan bahwa suatu teknologi dapat juga membawa Variabel Return to Scale (VRS), membuka kemungkinan bahwa skala produksi mempengaruhi efisiensi. Gambar 2 menunjukan perbedaan nilai efisiensi yang diukur dengan asumsi CRS dan VRS. Dari gambar Gambar tersebut menunjukan lima perusahaan yang sama-sama menghasilkan satu input y dengan satu input x. Garis batas berdasarkan CRS ditunjukan oleh garis lurus melewati C, yang mana garis batas bedasarkan VRS ditunjukan oleh garis yang melaui A, D, E. Titik aVRS pada garis batas menunjukan berapa banyak input x yang benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan nilai output y yang sama, dan menjadi titik referensi dari perusahaan B. Total teknikal efisiensi menunjukan hubungan antara maksimum produktifitas dengan produktifitas observasi.

Titik aCRS menunjukan penggunaan input yang perlu jika perusahaan dalam kondisi efisien secara teknis dan beroperasi pada ukuran yang optimal. Dari gambar terlihat bahwa seluruh perusahaan pada kondisi inefisien dalam ukuran (scale inefficient), kecuali perusahaan C yang berada pada garis batas CRS dan memiliki nilai output per input terbesar. Dengan demikian perusahaan B harus meningkatkan skalanya untuk mengurangi inefisiensi karena skala yang terlalu kecil.

Efisiensi relatif secara matematis dalam bentuk persamaan linier pertama sekali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978 dengan bentuk sebagaimana dibawah ini :

Model ini dikenal sebagai model DEA Primal CCR. yang dikenal dengan program garis batas (envelopment program). Dimana w0 adalah efisiensi relatif suatu DMU. w0 tersebut adalah suatu nilai yang jika dikalikan dengan input x, maka akan menghasilkan nilai maksimum pengurangan input untuk menghasilkan nilai output yang sama. Sedangkan ?j adalah suatu variabel yang menekankan seberapa besar kemungkinan untuk membuat suatu DMU baru (virtual DMU) dari DMU yang sedang dihitung efisiensi relatifnya, sebagai kombinasi dari DMU lainnya. ?j harus dihitung untuk semua n DMU tersebut dalam suatu kumpulan yang empiris. Untuk DMU yang efisien ?j sama dengan satu karena model tersebut tidak menemukan beberapa kombinasi dari DMU lain yang lebih efisien. Model tersebut diatas mengasumsikan hipotesa CRS teknologi. Pemilihan hipotesisi ini diambil apabila kita menganggap ukuran (scale) dari sebuah DMU tidak berpengaruh pada nilai efisiensinya. Nilai efisieni yang didapat dari model CCR ini pada kenyataanya berisikan nilai efisiensi skala (scale efficiency) dan efisiensi teknis (technical efficiency).

Salah satu kelebihan dari pengukruan efisiensi relatif dengan metode DEA ini adalah diperolehnya suatu peer group/peer unit untuk masing-masing pialang yang relatif kurang efisien. Untuk mengetahui peer unit/peer group dari masing–masing DMU atau pialang yang relatif kurang efisien maka dapat dilihat dari nilai variabel slack atau surplus dari masing-masing fungsi pembatas, di mana nilai dari variabel slack atau surplus dari peer unit adalah 0,00. Dikatakan demikian sebab dengan nilai variabel slack atau surplus yang sama dengan 0,00 maka DMU tersebut telah mampu menghasilkan output sebesar nilai input yang digunakannya.

Disamping itu untuk metode ini dapat pula menentukan DMU dengan praktik terbaik (best practice) dengan melakukan perhitungan lebih lanjut dari model CCR DEA dengan model cross efficiency dan False Positive Index (FPI). Pialang yang dikatakan baik apabila nilai efisiensi relatifnya 100%, nilai cross efisiensinya tertinggi serta nilai FPI yang rendah.

Secara garis besar kerangka kerja proses pengukuran efisiensi relatif sebagai dasar proses benchmarking ditunjukan oleh gambar 3.

 

APLIKASI PADA PIALANG BURSA BERJANGKA JAKARTA

Mengingat data yang digunakan dalam tulisan ini meliputi data keuangan pialang yang tidak dipublikasikan maka nama dari pialang disamarkan menjadi hurup A sampai L Data Input dan Ouput yang dikumpulkan ditunjukan pada Tabel 1. Selanjutnya dengan bantuan software paket statistik SPSS diukur pengaruh variabel-variabel ini, dengan hasil yang ditunjukan oleh Tabel 2. Mengingat seluruh variabel pengaruhnya cukup signifikan maka seluruh variabel langsung menjadi input dan output pada model DEA CCR. Model DEA CCR pada tulisan ini diselesaikan dengan bantuan software paket LP LINDO yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Demikian juga hasil pengukuran nilai cross efficiency dan FPI dapat dilihat Pada Tabel 3, sedangkan target input dan output pialang yang inefisien dapat dilihat pada Tabel 4.

 

ANALISIS

Dari hasil pengolahan data dengan SPSS terhadap data sebagaimana Tabel 1, diperoleh bahwa variabel-variabel yang dipilih memang memiliki faktor loading (eigenvectors) yang cukup tinggi (diatas 0.5) sebagaimana ditunjukan oleh Tabel 2, sehingga seluruhnya dapat diikutsertakan dalam langkah perhitungan selanjutnya. Selanjutnya dari nilai skor efisiensi relatif pialang pada Tabel 3 dapat kita lihat bahwa ada tiga pialang yang berkerja secara efisien yaitu pialang J,K,L pialang lainnya belum menunjukan nilai efisiensi yang optimal. Lebih-lebih pialang I dengan nilai efisiensi realtif terendah. Namun mengingat ada lebih dari dua pialang yang efisiensi relatifnya 100% maka :

Selanjutnya perlu dianalisis hasil cross efficiencymasing-masing pialang khususnya pialang yang relatif efisien. Dan agar diketahui pialang mana yang paling baik untuk dibenchmarking maka perlu juga dianalisis nilai FPI masing-masing pialang. Dari Tabel 3, dapat dilihat konsistensi nilai efisiensi pialang tersebut sehingga diperoleh urutan best practice pialang sebagai mana ditunjukan oleh urutan pada Tabel 3 tersebut. Pialang best practice adalah pialang L dengan nilai Epp 100%, Cp tertinggi 0,9256 serta FPI terendah 0,0744. Nilai ini menunjukan bahwa pialang L telah melakukan upaya kedalam yang optimal dengan nilai Epp 100% dan upaya keluar yang optimal dengan nilai Cp tertinggi sehingga FPInya menjadi terendah. Pengukuran ini juga memberikan hasil berupa target input dan output dari pialang yang inefisien sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 4. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak pialang yang kelebihan sumber daya untuk menghasilkan output yang telah dihasilkan saat ini.

Dengan metode ini proses benchmarking selanjutnya menjadi sederhana karena langsung dapat diarahkan kepada pialang yang memliki praktek bisinis terbaik yaitu pialang L, di samping pialang J, dan K yang juga memiliki efisiensi relatif sebesar 100%. Tabel 5 berikut berisikan inventarisasi praktek bisnis masing-masing pialang yang disadur dari laporan masing-masing pialang.

Praktek bisnis yang dijalankan Pialang L yang sangat perlu diperhatikan untuk meningkatkan kinerja pialang lain, yaitu :

  1. pelatihan secara kontinu baik bagi para nasabahnya maupun untuk wakil pialangnya. Bagi nasabah pelatihan ini bermanfaat sebagai acuan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam pemilihan investasi, bagi pialang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi untuk memperoleh nasabah potensial dan untuk meningkatkan ketajaman analisis dalam penyaluran amanat nasabah.
  2. fasilitas dan sarana yang lengkap untuk memudahkan kegiatan pelayanan kepada nasabah dengan menggunakan sistem komputer pada proses administrasi dan pemantauan pergerakan harga di bursa secara online. Para nasabah juga disuguhi informasi lengkap mulai dari ringkasan berita pasar, sampai berbagai referensi tentang perdagangan berjangka.
  3. giat melakukan seminar secara teratur untuk menggaet nasabah melalui acara talkshow di stasiun radio. Kegiatan sosialisasi sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan nasabah mengenai perdagangan berjangka di bursa yang sebagai besar berlandaskan kepada kepercayaan nasabah.

 

KESIMPULAN

Kinerja pialang yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat efisiensi pialang dalam menjalankan bisnisnya. Pialang dikatakan efisien apabila ia memiliki score efisiensi relatif (Epp) sebesar 100%. Sedangkan pialang terbaik (best-practice) adalah pialang efisien yang memiliki nilai cross efficiency (Cp) terbesar tetapi memiliki nilai FPI terkecil. Karena hal ini menunjukan pialang tersebut telah menggunakan sumber daya internalnya secara maksimal untuk mendapatkan output yang optimal dibandingkan pialang lainnya ditinjau.

Nilai efisiensi relatif yang ditunjukan pialang yang merupakan anggota BBJ, hanya tiga yang efisien (J,K,L) sedangkan pialang yang lainnya relatif kurang efisien disamping terdapat satu pialang yang memilki skor efisiensi di bawah 50%, hal ini menunjukkan kinerjanya sangat kurang dibanding yang lainnya. Pialang yang paling baik kinerjanya dan cocok untuk dijadikan benchmark (best practice) dari hasil tulisan ini adalah pialang L yang memiliki praktek-praktek terbaik untuk diaplikasikan oleh pialang lainnya, antara lain pelatihan secara kontinu baik bagi para nasabahnya maupun untuk wakil pialangnya, memiliki fasilitas dan sarana yang lengkap untuk memudahkan kegiatan pelayanan kepada nasabah dan giat melakukan seminar secara teratur, di samping memiliki latar belakang dan pengalaman yang cukup baik di bidang perdagangan fisik dari komoditi yang diperdagangkan di bursa.

Selanjutnya kerangka kerja pengukuran efisiensi relatif dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dapat digunakan secara terus menerus untuk memantau dan melaporkan kemajuan upaya peningkatan kinerja para pialang secara bersama-sama oleh Badan yang berwenang mangawasi pialang ini. Proses ini dapat diterapkan juga untuk organisasi lainnya secara lebih luas.