MEMILIH KONTRAK BERJANGKA MURABAHAH

 

Subagiyo
*) Kepala Bagian Pengawasan Transaksi Biro Perniagaan, Bappebti

 

 

Dewasa ini ada wacana hangat dikalangan stakeholder, pelaku usaha dan investor industri Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia untuk memperdagangkan produk kontrak berjangka Murabahah, dalam rangka pengembangan kontrak berjangka Syariah. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan, atau sebagai bahan diskusi, di ruang publik ini penulis mencoba menya-lurkan pandangan-pandangan dari berbagai sisi tentang kontrak berjangka Murabahah.

Apa sebenarnya Kontrak Berjangka Murabahah itu? Dan, jenis kontrak berjangka seperti apa yang patut dijadikan komoditi kontrak berjangka Murabahah?

Perdagangan kontrak berjangka Murabahah adalah akad jual-beli atas barang tertentu yang didasarkan atas Syariah Islam. Dalam transaksi jual-beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas komoditi yang diperjualbelikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil, serta penyerahan atas barang yang diperjualbelikan telah disepakati bersama.

Dalam konteks ekonomi perbankan Islam, Murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia komoditi dan nasabah yang memesan untuk membeli komoditi. Bank akan memperoleh gain (keuntungan) dari jual-beli yang disepakati bersama tersebut.

Konsep perdagangan berjangka Murabahah, pada dasarnya merupakan konsep bisnis yang mengacu pada konsep bisnis secara Islam. Dalam konsep itu, setiap pihak dilarang memungut keuntungan bunga atau riba. Dan, nilai keuntungan yang diperoleh tidak ada unsur gambling yang mengarah ke perjudian.

Pada Al-Qur'an (QS: 2 :275-279), secara tegas disebutkan bahwa pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi yang tidak didasarkan Syariah Islam. Misalnya transaksi yang dilarang itu memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi semata tanpa didukung dengan nilai harga yang jelas dan tidak adanya serah terima fisik barang sebagai bentuk riil dalam hukum jual-beli. Serta, kurang memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi kemakmuran masyarakat. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual-beli itu termasuk kepada riba, karena gain yang diperoleh itu adalah bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riil (tanpa adanya barang) yang dipertukarkan, kecuali mata uang atau kertas-kertas itu sendiri.

Prinsip-prinsip yang dianut dalam perdagangan berjangka di bursa berjangka selama ini pada dasarnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi secara Islam. Karena adanya penyerahan fisik atas barang yang diperjual-belikan, selain itu dalam perdagangan berjangka tidak ada istilah gambling sebagaimana judi yang diharamkan karena harga yang ditawarkan cukup transparan dan dapat diprediksi dan dianalisa berdasarkan teori ekonomi, baik fundamental maupun teknikal, serta kesepakatan adanya penyerahan fisik barang dikemudian hari setelah kontrak jatuh tempo sebagaimana diatur dalam ketentuan perdagangan berjangka.

Selain itu, dalam perdagangan berjangka produk kontrak berjangka yang diperjualbelikan jelas sesuai standar yang ditetapkan dalam spesifikasi kontrak berjangka, baik jenis, mutu dan harganya pun jelas. Dalam perdagangan berjangka selain memberikan manfaat ekonomi sebagai sarana referensi dan pembentukan harga, perdagangan berjangka juga dapat dimanfaatkan bagi para pelaku usaha dalam rangka sarana pengalihan risiko akibat adanya ketidakpastian atas harga di pasar fisik, maka kerugian tersebut dialihkan di bursa bejangka melalui lindung nilai (hedging) di pasar berjangka. Dalam perdagangan berjangka di samping memberikan manfaat ekonomi dan keuntungan (return) yang cukup besar akibat terjadinya fluktuasi harga di pasar, perdagangan berjangka juga memiliki risiko kerugian (risk) yang tidak sedikit.

 

Maghrib

Selanjutnya, apakah semua jenis kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka dapat dijadikan sebagai kontrak berjangka Murabahah?

Apabila kita mengacu kepada ketentuan Hukum Islam, maka tidak semua produk kontrak berjangka di bursa berjangka dapat dikatagorikan produk berjangka Syariah. Karena produk Murabahah harus menghindari adanya unsur Maghrib (Maysir, Gharar dan Riba) yang dilarang dalam Syariat Islam.

Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Gharar ialah transaksi maya dan derivatif karena itu ia menjadi bisnis dengan resiko yang sangat tinggi. Sedangkan Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riil.

Seperti halnya di pasar berjangka, di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riil yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk melakukan transaksi secara riil di sebuah transaksi futures trading yang pada dasarnya merupakan sarana lindung nilai (hedging) atas kontrak berjangka yang diperdagangkan dengan memperkecil risiko yang terjadi apabila terjadi fluktuasi kenaikan atau penurunan harga di pasar fisik serta apabila dimungkinkan transaksi tersebut dilakukan melalui penyerahan fisik (fisical delivery), akan tetapi para spekulator semata hanya untuk meraih gain melalui praktik margin trading di pasar berjangka.

Selain itu, harus diketahui bahwa di dalam financial market atau index market khususnya di pasar derivatif, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga. Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi Swap, Forward dan Options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan Syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi Syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor riil.

Tegasnya, one monetery unit for one real asset dalam kerangka ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riil melalui jual-beli, bagi hasil dan ijarah. Mengingat sistem ekonomi kapitalisme saat ini cenderung mengarah kepada riba, seperti spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar uang (capital market) dan indeks saham di pasar modal, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riil.

Kegiatan traksaksi derivatif baik indeks dan forex di bursa berjangka dapat dikatagorikan riba, karena kegiatan spekuasi valas dan indeks dengan motif untuk spekulasi yang hanya mencari keuntungan semata dari selisih fluktuasi harga yang terjadi dan tidak didukung dengan transaksi yang bersifat riil (tanpa penyerahan barang), maka kegiatan tersebut adalah kegiatan ribawi (mencari keuntungan dari selisih harga dan bunga). Sedangkan untuk jagajaga (preceutionary) hukumnya makruh.

Dalam buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits) menurut pakar ekonomi Islam dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEII) Agustianto, kita bisa melihat dan menganalisa definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah azziyadah lam yuqabilha 'iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya 'iwadh.

Iwadh ialah transaksi bisnis riil yang terdiri dari tiga macam, yaitu jual-beli, bagi hasil dan ijarah. Jual-beli contohnya ialah seperti jual-beli dengan segala macamnya (jual-beli murabahah, salam, istisna). Transaksi bisnis riil juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah.

Bagi hasil diwujudkan dengan konsep murabahah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara'ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel). Sedangkan untuk transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual-beli murabahah, salam, istisna' dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riil.

Oleh karena itu pula, salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma'kud 'alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan penyerahan barang (fisical delivery) adalah haram menurut Islam karena kurang memiliki persyaratan Syariah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riil dan sektor moneter.

Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya. Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riil. Seorang spekulan mata uang, yang meraup keuntungan dari selisih harga beli dolar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditi sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing.

Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan impor, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar derivatif. Maka seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba, bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula, seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka komoditi tanpa didukung adanya penyerahan fisik atas barangnya jua telah melakukan praktek-praktek ribawi, karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riil atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu' Fatawa pada abad pertengahan Islam.

Dalam Ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riil. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis. Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997.

Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).

Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint Ekonomi Islam.

Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres Amerika Serikat untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh mantan Direktur IMF, Strauss-Kahn, yang mengatakan perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah.

Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme Amerika, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi. Joseph Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University mengatakan, "Pada akhirnya, Amerika Serikat yang selama ini membanggabanggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah Amerika sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia".

Berkaitan dengan hal tersebut, bursa berjangka seharusnya agar lebih cerdas memilih produk berjangka yang akan diluncurkan sebagai produk berjangka Murabahah. Sehingga kita tidak keliru dalam memilih produk sesuai dengan praktik-praktik murabahah yang memang dianggap relevan untuk saat ini.

Mengapa diperlukan hal tersebut, karena konsep ini dapat memberikan pencerminan kepada kita bahwa sistem perdagangan berjangka konvensional yang dilakukan selama ini terutama kontrak-kontrak berjangka derivatif seperti: indek, forex dan derivatif lainnya yang diperdagangkan di luar bursa melalui Sistem Perdagangan Alternatif (SPA), ternyata belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai produk Murabahah karena belum memiliki unsur Syariah yang dipersyaratkan dalam Hukum Islam. Dan, cenderung bersifat Maysir, Gharar dan Riba.

 

Investor Muslimin

Sehubungan dengan hal itu, untuk memberikan alternatif pilihan investasi bagi investor muslimin yang menginginkan produk berjangka halal perlu diberikan alternatif pilihan investasi berjangka secara Syariah. Sehingga kalangan muslimin terhindar dari perbuatan Maysir, Gharar dan Riba. Untuk itu, agar kita tidak keliru memahami produk berjangka Syariah tersebut, diperlukan kajian para pakar ekonomi Islam untuk membahas hal tersebut agar kontrak berjangka Murabahah benarbenar sesuai dengan Syariat Islam. Maka diperlukan kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Indonesia dalam menentukan produk Murabahah tersebut, sebelum mendapat persetujuan Bappebti.

Seperti halnya produk Syariah yang ada di perbankan, produk perdagangan berjangka murabahah tentunya tidak jauh berbeda dengan kontrak berjangka konvensional yang ada di bursa berjangka seperti produk komoditi primer, karena harganya kurang menarik dan tidak fluktuatif, serta transaksi perdagangannya tidak seliquid dan seramai kontrak-kontrak berjangka finansial dan indeks yang ada di SPA yang harganya jauh lebih fluktuatif. Itulah pilihan ekonomi kadang yang terbaik belum tentu diminati, akan tetapi kontrak derivatif yang cenderung haram menurut Islam lebih banyak diminati karena memang harga dan keuntungan sangat menarik.

Pertanyaannya adalah, apakah kontrak berjangka murabahah yang akan diperdagangkan tersebut mengambil konsep perdagangan berjangka (futures trading) dalam pengertian kontrak berjangka komoditi primer atau kontrak fisik forward, sebagaimana yang ada di bursa berjangka atau akad jual-beli antar perbankan dengan penyediaan komoditi di Bursa Berjangka.

Itulah yang perlu dikaji dan disosialisasikan terlebih dahulu, konsep murabahah seperti apa yang mau diperdagangkan di bursa berjangka agar kita semua mengerti tentang subyek kontrak murabahah tersebut dengan dasar hukum dan konsep yang jelas.